Ilustrasi : Shuterstocks
Anak-anak pun digiring masuk ke rumah oleh orang tua masing-masing, kesibukan itu bereaksi seperkian detik saat teriakan ibu atau kakak perempuan dari anak-anak itu menyeruak menyuruh mereka untuk segera pulang. Biasanya sehabis itu anak-anak akan berhamburan untuk kembali pada tempat ternyaman mereka bersemayam di malam hari bersama sanak keluarga. Rumah.
Di trotoar jalan ditemani bebatuan krikil yang tersebar di sepanjang jalan ini aku dan satu laki-laki -yang sudah kuterima menjadi pendamping hidup- berjalan gontai. Sebetulnya, tidak teramat lelah juga langkahku karena aku keasikan mengambil potret kampung ini. Sementara suamiku itu terus saja bergerutu sebab ia terdampar di perkampungan ini, "Macam kambing saja mereka diperlakukan." ketus Alvin -suamiku- yang memakai setelan pantai.
Aku menengok ke samping kiriku, sedikit tidak setuju, "Bedalah mas, anak-anak itu cukup di arahkan sekali saja dan mereka langsung menurut. Tidak sama dengan kambing yang harus dipukul dulu baru berjalan." belaku sembari beralih kepada kamera slr yang mengalung di leherku.
"Tau apa kamu tentang mereka? Kampung ini asing buat kamu dan kamu gak tau apa apa." kesalnya, mungkin karena kami tak kunjung menemukan pertolongan.
Aku tersenyum, "Mas, potret kampung itu sama saja. Kamu yang berbeda dengan mereka, karena kamu terlahir di kota." sahutku kembali membela kampung ini.
"Kamu kok bela mereka Del," singgung Alvin mengerutkan dahinya.
"Kali-kali aku bela mereka, mas, karena aku juga kan gak sering main ke kampung gini, hehe."
Alvin mendengus mendengar jawabanku karena biasanya aku selalu menurut dan sepakat atas perkataannya. "Kamu kenapa sih? Aku capek ah, mau duduk bentar!" tanya Alvin di awal, sebelum ia mengeluh di akhir kalimatnya.
Alvin duduk. Aku tak ikutan, ia menengadah, "Kamu gak capek? Sini duduk.." seru Alvin.
Aku membuang nafas sembari meletakan tangan di pinggang -bertolak pinggang, "Jadi, kamu mau disamakan kaya kambing ya mas? Dipukul dulu baru jalan. Ayo lanjut masa baru jalan satu kilo meter saja udah capek. Payah!" ledekku.
"Delfi..." panggil Alvin setengah bergumam. "Kita itu korban karena jalanan terjal yang gak diaspal kaya gini nih, mobil kita juga mati karena ada jalanan bolong di sana tadi. Kemana sih uang otonomi daerahnya? Bukannya bangun jalanan yang bagus. Jadi, nyusahin orang kan!" katanya kesal sendiri, aku terkekeh, lucu sekali melihatnya.
"Mas, kamu seriusan capek? Kalau serius ya kita istirahat dulu, tapi kalau masih kuat jalan 500 meter lagi di depan itu kayanya ada kantor kelurahan, deh. Nanti kita bisa minta pertolongan atau nggak barangkali di sana ada sinyal buat hub orang di kota bantu kita." saranku duduk menyamainya.
Alvin bukannya menjawab, ia malah menatapku lekat, sesekali membuang nafas dalam-dalam. Aku berfikir di sela-sela itu, apakah aku salah bicara? Apakah Alvin tidak suka caraku bersikap saat ini? Alvin kelihatan marah, deh.
"Sikap kita kenapa jadi terbalik gini, sih? Biasanya aku yang dewasa, tegas, dan benar." herannya menerka-nerka.
Aku tertawa, "Kenapa? Kamu suka ya aku begini?"
"Aku jadi tahu, bagaimana kamu sangat mengagumiku selama ini? Ternyata aku keren, haha." katanya mulai melentur, "Aku kaya ngaca deh jadinya, hehe.." tambah Alvin.
"Aku jadi tahu juga, bagaimana pedulinya kamu untuk selalu melindungiku, karena selama ini aku terlalu gemas dan lucu kan?" sahutku terkekeh, "Aku bahagia deh hari ini walaupun capek, mas." kataku lagi.
"Kita harus saling mengerti ya Del,"
"Iya mas, makasih ya selama ini selalu mengerti aku."
Penulis : Poni Rahayu
Posting Komentar