Menilik Sistem Demokrasi Kampus di IAIN Syekh Nurjati Cirebon

LPM FatsOeN, Cirebon - Josiah Ober dalam The Original Meaning of Democracy (2008) dan Origin of Democracy in Ancient Greece (bersama Kurt A. Raaflaub dan Robert Wallace, 2007) mengajukan pertanyaan provokatif, jika demokrasi dirunut asal usulnya dari kata Yunani yang terdiri dari demos dan kratos, dengan demos seringkali diartikan rakyat dan kratos sebagai kekuasaan, lalu demokrasi berarti “kekuasaan oleh rakyat”. Tapi kekuasaan dalam pengertian apa? Dalam cuaca politik modern kita lantas akan tegas menjawab, kekuasaan memutus perkara dan pilihan atas dasar aturan oleh mayoritas. Jika demikian halnya, Ober meneruskan, demokrasi akan menghadapi dilema: sebagai sistem politik yang direduksi menjadi sekedar mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan voting, dan jika secara inheren voting mengandung cacat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, maka demokrasi secara inheren juga cacat sebagai sistem politik (Kenneth Arrow,1963; Anthony Downs,1957). Karenanya kita perlu memikirkan definisi demokrasi secara lain akibat kedangkalan dan pemburukan makna ini.

Melihat carut marut dinamika pergulatan demokrasi di IAIN Cirebon yang sudah terhegemoni dengan kuat, sehingga menurunkan makna demokrasi secara utuh. Kondisi demikian dikeluhkan oleh Omar, salah satu mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang berada di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab menurutnya keterwakilan ini sistem harus  dibenahi. “Banyak teman-teman saya yang berada di PTN-PTN ini memiliki konsep pemira dan ini memiliki euforianya tersendiri juga. hal-hal yang bisa menjadi eksistensi dan esensi mereka masing-masing,”

Menilik empat tahun kebelakang, IAIN Cirebon sendiri menggunakan sistem keterwakilan. Hal ini diakui oleh ketua Senat Mahasiswa Institut, “Di IAIN Cirebon sendiri menggunakan sistem keterwakilan, karena berdasarkan surat keputusan Dirjen Dikti yang menggunakan sistem keterwakilan,” ungkap Akrom

Hal itu senada dengan keterangan dari Ilman, selaku Warek III IAIN Syekh Nurjati Cirebon saat ditemui oleh wartawan FatsOeN, “Jadi, keterwakilan itu sebenernya dasarnya POK dari Dirjen Pendis. Sebenernya itu sejak 2011, kemudian di Tahun 2012 itu sudah ada. Cuma selama itu belum terlaksanakan, baru ketika saya Dekan Tarbiyah saya turunkan jadi POK Fakultas Tarbiyah. Kan itu amanat dari pusat seperti itu. Nah ketika jadi Warek 3 saya juga sudah menemukan dokumen itu telah dilaksanakan. Akhirnya, saya pun laksanakan sesuai POK. Itu kebijakan dari pusat,” ungkapnya. 

Sebab demikian, beberapa kampus yang berada dibawah naungan Kementrian Agama (Kemenag) banyak menggunakan sistem keterwakilan dalam proses pemilihan ketua SEMA-DEMA, diantaranya adalah UIN Sunan Gunung Djati, UIN Alaudin, UIN Walisongo dan lainnya.

Teknis Pemilihan yang Belum Rapih

Menurut Omar untuk melihat kedemokratisan di kampus ini, tentu berkaitan dengan sistem yang digunakan. Ia menyampaikan sesuatu apa yang tidak hanya ia sampaikan saja, melainkan dari teman-temannya juga, melalui obrolan perihal sistem keterwakilan dengan temannya yang lain. “Cara ini efektif, tapi bukan yang paling efektif, karena menciderai nilai-nilai demokrasi kampus, karena teman-teman yang tidak menjadi delegasi tidak mempunyai hak suara. Apalagi yang menjadi delegasi ini tanpa memusyawarahkan terlebih dahulu dengan jurusannya,” ungkapnya

Dia mengatakan, dalam sistem keterwakilan ini ada orang menjadi delegasi jurusan, entah itu betul-betul dipilih atau menawarkan sendiri. Delegasi tersebut seharusnya membawa suara jurusan yang sudah dikolektifkan dari jurusan masing-masing 

“Yang saya perhatikan di jurusan saya sendiri, yang menjadi ketua Senat atau Demanya tidak seringkali ada interaksi dengan keluarga besar jurusan melalui grup whatsapp atau yang lainnya. Seharusnya yang menjadi delegasi dipemilihan memusyawarahkan di jurusannya dan menanyakan kepada masing-masing individu, agar yang dia bawa adalah suara dari jurusannya, bukan atas nama pribadi karena alasan tertentu atau suatu golongan yang terkait,” tuturnya. 

Warek III pun mengatakan bahwa entah dalam sistem keterwakilan ini ada plus minusnya. “Nah sekarang kan keterwakilan alhamdulillah kondusif, ya yang saya sebut tadi meski ada plus-minusnya ya. Ada semacam stagnasi pemikiran demokrasinya. Tapi saya termasuk orang yang untuk sampai saat ini  untuk Cirebon ini lebih kondusif menggunakan ini,” tutur Ilman. 

Hak Otonomi kampus, masih berlaku kah?

 Muhammad Ali Ramdhani selaku Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam mengungkapkan “Sk dirjen ini sifatnya mengikat, untuk seluruh PTKIN. Karena model demokrasi kita juga banyak cirinya, seperti one man one vote dan keterwakilan. Dan ukuran serta kemaslahatan ada pada perwakilan. Dan seluruh PTKIN wajib menerapkan sistem ini,” Ungkapnya saat ditemui reporter LPM FatsOeN.

Meski demikian kampus mempunyai otoritas besar dalam mengatur kebijakannya sendiri, hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi pada Pasal 64 ayat 1-3, yang berbunyi :

Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagamana dimaksud pada pasal 62 meliputi bidang akademik dan nonakademik

Otonomi pengelolaan bidang akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional sera pelaksanaan Tridharma

Otonomi pengelolaan di bidang nonakademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan norma dan kebijakan operasioanl serta pelaksanaan :

Organisasi;

Keuangan;

Kemahasiswaan;

Ketenagaan, dan

Sarana dan prasarana

Mengenai hal ini Ketua Senat Mahasiswa Institut mengatakan “Mengenai hak otonom SEMA untuk merubah POK itu sebenarnya bisa, hanya saja ada beberapa proses yang harus ditempuh, mungkin waktunya tidak cukup, ditambah dengan kondisi di tengah Pandemi,” timpal Akrom

Menurutnya, untuk merubah sistem ini perlu dilengkapi dengan batasan periodisasi, pembentukan badan-badan pendukung lainnya, semacam KPU dan BAWASLU, serta pembentukan PARPOLMA (partai Politik Mahasiswa). Namun semua itu butuh Standar Operasional Prosedur (SOP) yang rapih. Sedangkan di IAIN sendiri mengenai administrasi dan keuangan masih belum tertata rapih. 

Dia juga mengatakan bahwa saat ini Warek III mengamanatkan agar memperbaiki dari SOP-nya terlebih dahulu.  Seperti SOP pembentukan UKM dan UKK belum ada aturan yang baku.

“Mungkin regenerasi selanjutnya bisa menyelesaikan hal ini,” pungkasnya

Bisakah Kampus Mencapai Tatanan Demokrasi yang Ideal?

Minimnya partisipasi mahasiswa menyebabkan kelanggengan akan stagnansi demokrasi yang ada di kampus ini. Hal itu dipaparkan oleh Omar yang mengatakan bahwa masih banyak mahasiswa yang masih awam mengenai isu ini, maka dari itu tak heran jika mereka bersikap acuh tak acuh terhadap hal ini. 

“Bahwa untuk menyoroti isu demokrasi kampus, ini tidak menjadi tanggungan satu dua mahasiswa saja, tetapi menjadi tanggungan kita bersama. Karena kita harus kritis dari masalah kita bersama,” ungkapnya. 

Menurut Tubagus salah satu Mahasiswa di UIN Jakarta mengatakan, bahwa keputusan kemenag terkait sistem keterwakilan ini adalah salah satu upaya pelemahan demokrasi di tataran kampus. Karena secara tidak langsung, dengan adanya kebijakan ini, akan banyak menyebabkan mahasiswa apatis yang tidak ingin terlibat dalam proses pembelajaran politik di kampus. Dengan ada nya SK ini, Kemenag  terlalu mengintervensi ranah-ranah kemahasiswaan yang seharusnya menyesuaikan dengan culture dan nomenklatur di setiap kampus. 

“Negara kita adalah negara demokrasi, maka jadikanlah kampus sebagai wadah pembelajaran politik dan demokrasi bagi mahasiswa. Sistem yang saat ini dipakai di Indonesia untuk mencapai good goverment, baiknya juga diterapkan dikampus. Atau minimal, masing-masing mahasiswa mendapat hak untuk dipilih dan memilih. Dengan begitu, pembelajaran politik dan demokrasi akan terasa,” Ungkapnya

  Terkait hal ini, Omar memberikan tawaran sebagai evaluasi pelaksanaan sistem demokrasi yang diadakan di kampus ini, “Sistem keterwakilan ini harus kita benahi. Saran pertama ini cukup mengganti sistem, mengganti sistem keterwakilan ini menjadi sistem pemira yah (di kampus umum pada umumnya). Dan Kembali ke pemira di sini identik dengan one man one vote yang satu orang memiliki satu suara. Justru hal ini bisa memberikan hasil yang mungkin lebih demokratis daripada sekedar keterwakilan seperti yang tadi sempat saya sampaikan juga, kan kalau keterwakilan ini kadang kala nggak bakal interaktif atau jarang banget interaktif nya gak langsung sesama semuanya bisa,” Ungkapnya

Untuk mengenai bagaimana teknis pelaksanaannya Omar menyarankan agar menggunakan sistem virtual, sistem virtual ini sudah banyak digunakan kampus-kampus lain.  Virtual akun ini digunakan untuk pemilihan dan pencoblosan, dan semuanya bisa mengakses dengan menggunakan akun masing-masing. “Sekarang di kampus kita sudah ada yang Namanya LMS (Learning Manajer System) itu sudah mulai diterapkan, kabarnya kampus kita merupakan kampus yang berbasis teknologi dan teknologi yang diutamakan. Apalagi sebentar lagi kampus kita akan menjadi UIN, memang kita harus bisa beradaptasi dan bergegas ke sana (teknologi),” tambahnya 

Cara ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan web syechnurjati.ac.id yang terhubung dengan akun email masing-masing. Tanpa perlu datang ke tempat pemilihan, dengan sistem ini kita bisa mengaksesnya di gadget masing-masing dengan pantauan panitia penyelenggara pemilihan dan dibantu dengan koordinasi kosma di setiap kelasnya masing-masing “Dengan semangat sapu lidi itu akan terjadi sebuah perubahan yang besar dari hal-hal terkecil yang kita lakukan. Besar harapan saya ini bisa diformulasikan bersama, tetap semangat menebar kebaikan,” pungkasnya. 

Penulis : Khotimah

Reporter : Khotimah, Maya, Sulthoni, Dimas, Tedi

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama