Supersemar Versi AD
Ilustrasi dan sumber foto: Wikimedia Commons


Hari ini, 11 Maret. Tepat 57 tahun yang lalu, keluar Surat Perintah dari Presiden Soekarno kepada Soeharto yang mengawali transisi pergantian kekuasaan.

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) merupakan surat pernyataan Presiden Soekarno untuk Soeharto, yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil langkah tegas guna mengamankan ketidakstabilan negeri usai peristiwa G30S.

Dalam peristiwa itu tentara menudu Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang atas terbunuhnya tujuh jenderal Angkatan Darat. Hal tersebut memancing amarah para pemuda anti komunis, sehingga membentuk beberapa kelompok aksi. Salah satunya ialah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada Oktober 1965.

Selain itu, ada juga Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), KABI, KASI, KAWI, dan KAGI, yang semuanya tergabung dalam Front Pancasila yang dilindungi tentara.

Keadaan di dalam Negeri mulai memburuk, akibat peristiwa G30S ditambah saat itu perekonomian mengalami inflasi yang gila-gilaan hingga mencapai angka 600 persen lebih, Soekarno pada saat itu masih bergeming.

Pada tanggal 12 Januari 1966, Front Pancasila mulai melancarkan aksinya di halam Gedung DPR-GR dan melayangkan tiga tuntutan.

Berikut isi tiga tuntutan yang kemudian dikenal dengan Tritura. 

1. Pembubaran PKI

2. Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S

3. Penurunan harga


Kemudian, demonstrasi kedua dilakukan pada tanggal 11 Maret 1966, yang dilancarkan di depan Istana Negara yang didukung oleh tentara.

Melihat situasi yang kacau ini, Soeharto meminta tiga orang perwira tinggi ke Bogor untuk bertemu Presiden Soekarno. Tiga jenderal tersebut adalah Brigjen Amir Machmud (Panglima Kodam Jaya), Brigjen M Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi), yang hendak menemui Soekarno.

Tiga perwira tinggi Angkatan Darat tersebut memberitahu kepada Soekarno bahwa Soeharto mampu menangani situasi apabila diberikan surat tugas atau perintah untuk mengambil tindakan mengamankan negeri. Kemudian Soekarno langsung mengabulkan permintaan tersebut dan segera mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret.

Menurut informasi yang beredar, Presiden saat itu ditodong untuk menandatangani lembaran yang diduga Supersemar tersebut.

Namun, ada pendapat lain menurut kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M. Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto" menyatakan bahwa ketiga jenderal itu telah membawa teks Supersemar, serta dalam pernyataannya Bung Karno tidak benar-benar ditodong karena para jenderal datang dengan baik-baik. Sementara di luar istana para demonstran telah berkumpul. Karena kondisi seperti itu pada akhirnya Soekarno menandatangani surat itu.

Setelah penelusuran, Supersemar yang asli pun belum diketahui. Pasalnya ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat tersebut di antaranya, Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram sebagai Staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.

Mengutip dari situs menpan.go.id, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), juga belum menemukan Supersemar yang asli, meskipun telah ada empat versi Surat Perintah Sebelas Maret di Arsip Nasional.

“Jadi, dari segi histori, perlu dicari terus di mana Supersemar yang asli itu berada. Dan, tim penelusur harus terus dijalankan,” kata M. Asichin, mantan Kepala ANRI.

Setelah melewati segala uji autentikasi, ia menyatakan bahwa seluruh empat versi Supersemar itu merupakan produk cetak, baik berupa tulisannya, lambang garuda, maupun tanda tangan.

Meski Supersemar ada berapa versi, terdapat beberapa pokok pikiran yang diakui Orde Baru dan dijadikan acuan. Supersemar berisi tentang beberapa hal, sebagai berikut. 

1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.

3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.


Dampak dari Supersemar sangat mengubah beberapa tatanan negeri. Mulai dari Supersemar menyebabkan kedudukan Soekarno sebagai Presiden RI kian tergerus, sementara posisi Soeharto kian menguat. Kemudian Soekarno lengser dari kursi kepresidenan, serta dicabutnya rencana menjadi presiden seumur. Soeharto naik menjadi presiden pada 27 Maret 1968, sekaligus menandai lahirnya Orde Baru. Hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dan Amerika menguat, serta masuk kembali menjadi anggota PBB.


Penulis: Iswanto

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama