Ilustrasi Foto: Canva.com 

Beberapa waktu ke belakang, saya menjadi bagian dari panitia Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Sekarang sedang bertransformasi menjadi UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (UIN SSC). Di Divisi Media. Pemilwa merupakan kegiatan yang rutin diadakan setiap tahun/periode. Tujuannya untuk memilih siapa Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema). Di mayoritas kampus kita mengenal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). 

Dalam proses penyelenggaraannya, terjadi beberapa (dalam bahasa saya) drama yang mengundang kritik dari mahasiswa (yang mengikuti proses Pemilwa). Seperti terasa diburu-buru, agenda-agendanya sempat beberapa kali ditunda, dikatakan banyak yang tidak berminat masuk Dema maupun Sema (sebab minat berorganisasi mahasiswa dinilai menurun), musyawarahnya diadakan tertutup, berbarengan dengan acara Wisuda dan seterusnya. Cukup banyak. 

Dalam kapasitas saya menjadi panitia, tulisan ini memang terkesan mengkritisi kesalahan sendiri. Tapi perlu diketahui, selama proses pemilihan, dari persiapan sampai pelaksanaan saya kurang mampu memberikan kontribusi yang maksimal. Selain karena saya jarang berada di kampus (sebab tidak ngekos/ngontrak), ada beberapa kegiatan yang sedang saya jalani juga. Seperti magang sampai bulan Juni mendatang, mengikuti kegiatan Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Jawa Barat di Tasikmalaya dan menjadi koordinator pelaksana Istighasah Kubra Hadiyu serta Pawai Obor di desa. 

Namun jika ada yang mengesankan berbeda. Silahkan. Itu hak pribadi masing-masing. Yang jelas, tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kepedulian saya terhadap teman-teman mahasiswa khususnya di IAIN dan Kabupaten/Kota Cirebon. Beberapa drama itu dinilai oleh seorang kontributor tulisan di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) FatsOeN, Udin, sebagai bentuk/indikasi bahwa demokrasi di kampus sedang sakit. Apalagi dalam prosesnya juga diwarnai ketidakhadiran Ketua Umum Dema ketika Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) berlangsung dan musyawarahnya digelar tertutup.

Saya memandang bahwa yang dikatakan oleh Udin tidak salah. Prinsip demokrasi memang mengedepankan keterbukaan, kejujuran, keadilan dan partisipasi dari semua pihak. Dalam proses pemilihan itu, tidak semua mahasiswa memilih siapa yang akan menjadi Ketua Umum Dema maupun Sema. Karena konsep pemilihannya adalah delegasi. Detail yang dimaksud delegasi (dalam Pemilwa IAIN) seperti apa saya kurang terlalu paham. 

Saya bertanya kepada seorang teman mahasiswa yang magang bersama, "Apakah kamu tahu dan peduli ada pemilihan mahasiswa di kampus?", Dia menjawab, "Tidak tahu dan tidak peduli," begitu jawabnya. Dari sini, kita bisa melihat bahwa prinsip demokrasi dalam pemilihan mahasiswa di kampus memang kurang begitu dijalankan. Dan hal ini menurut saya perlu menjadi perhatian sekaligus renungan bersama. 

Saya sering mendengar bahwa para mahasiswa menggaungkan narasi bahwa demokrasi di kampus telah mati. Begitupun demokrasi dalam konteks nasional. Mereka begitu kritis terhadap proses demokrasi yang berlangsung di sekitarnya. Mereka begitu idealis menjunjung apa yang disebut sebagai "sebenar-benarnya demokrasi". Namun, dalam pelaksanaan Pemilwa ini, saya melihat ada kontradiksi antara idealisme dengan realita/tindakan nyata mereka dalam menjalankan proses demokrasi.

Hal demikian tentu menjadi sesuatu yang miris. Dan katanya, proses pemilihan seperti ini sudah berlangsung sejak beberapa periode ke belakang (jika keliru boleh dikoreksi). Saya kira, seharusnya teman-teman mahasiswa yang selama ini menggaungkan narasi-narasi yang idealis tentang demokrasi malu. Saya pun sebagai bagian dari mahasiswa di IAIN merasa malu. Utamanya karena belum bisa mengawal prosesnya menjadi lebih sesuai dengan prinsip demokrasi. 

Selain malu, saya juga khawatir terhadap keberlangsungan demokrasi dan politik negara. Para mahasiswa, di IAIN atau kampus lain merupakan generasi/tonggak penerus kepemimpinan nasional, daerah sampai desa. Jika sedari mahasiswa budaya-budaya menjalankan demokrasi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang fundamentalnya dipelihara, bagaimana jadinya jika mereka menjadi penerus dan menduduki posisi-posisi penting di lingkungan pemerintah nanti. 

Pikiran liar saya terkadang berkata. "Apakah budaya-budaya seperti ini umum di lingkungan kampus?", Jika umum, bukan hanya terjadi di IAIN, pantas saja jika kualitas demokrasi, penyelenggaraan pemerintahan kita dan perilaku aktor yang terlibat di dalamnya kurang positif. Masih diwarnai pelanggaran, manipulasi, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan sebagainya. Sebab bagaimanapun, kampus merupakan tempat kelahiran para pejabat, pemangku kepentingan dan lainnya di masa depan. 

Saya kira, sekali lagi hal ini harus menjadi renungan bersama. Utamanya bagi Ketua Umum Dema dan Sema yang baru atau mahasiswa IAIN. Sebagai kalangan terdidik, yang mengemban tanggung jawab menjadi agen perubahan (agen of change), berfungsi sebagai kontrol sosial di lingkungan masyarakat dan teladan bagi masyarakat lain, ada baiknya mulai dari kampus kita jalankan proses demokrasi dengan baik. Menghindari ketidakterbukaan, kepentingan-kepentingan yang sifatnya negatif, mengedepankan egoisme pribadi maupun kolektif (golongan), dan lain-lain. 

Saya merupakan mahasiswa yang merasakan betul "multiplayer effect" dari demokrasi yang kurang baik. Saya aktif di desa. Bersama dengan teman-teman pemuda desa lain, saya sering mengadakan berbagai kegiatan sosial, keagamaan dan pendidikan. Melalui organisasi kepemudaan, yayasan, organisasi keagamaan dan sebagainya. Karena proses demokrasi di desa berjalan belum sebagaimana mestinya, terkadang dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan itu saya mendapat tantangan dan hambatan yang cukup menguras tenaga dan pikiran. 

Di samping itu, saya juga aktif menjadi pengurus Badan Usaha Milik Desa, sebuah badan/lembaga yang mengurus aktivitas usaha/perekonomian desa. Karena hal serupa, aktivitas pengembangan usaha/ekonomi desa akhirnya kurang berjalan maksimal. Menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes) yang tidak begitu besar dan kurang berkontribusi mengatasi masalah kemiskinan, pendidikan masyarakat yang belum tinggi sampai pengangguran. 

Kenapa saya tidak protes? Kenapa saya dan teman-teman muda lain membiarkan hal itu terjadi? Jika ada yang belum paham, situasi di desa dan kampus itu berbeda. Berbeda jauh. Bahkan jauh sekali. Jika itu terjadi di kampus, saya berani menulis atau menggaungkan apa yang sesuai dengan prinsip demokrasi yang baik secara lantang. Di desa tidak bisa disamakan. Jika keberanian saya diimplementasikan secara "tidak dimodifikasi menjadi lebih soft dan mengedepankan diplomasi", akses saya untuk berkontribusi aktif di lingkungan sosial, pendidikan sampai ekonomi itu bisa terbatasi. Jadi, strateginya harus menyesuaikan. 

Tapi jika di desa, di daerah dan pusat pemerintahan itu diisi oleh "pensiunan-pensiunan" mahasiswa yang berintegritas dan punya idealisme demokrasi yang sejalan dengan tindakan, saya yakin proses penyelenggaraan pemerintahan di desa, daerah dan pusat akan berjalan lebih baik. Berdampak positif terhadap masyarakat, mampu membawa negara menghadapi tantangan-tantangan global/lokal yang sekarang mengemuka seperti climate change, krisis pangan, krisis air bersih, krisis energi, atau resesi, dan lain-lain. 

Penulis: Ega Adriansyah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama