(Suasana diskusi Pukul Balik Predator (kekerasan seksual) Kamis, 18 Maret 2021. Foto: Dila)

   LPM FatsOen, Cirebon-“Pukul Balik Predator (Kekerasan Seksual),” menjadi tema yang diusung dalam diskusi sore di hari Kamis, 18 Maret 2021, yang diadakan oleh Oksidasi bertempat di Saung Perjuangan Cirebon.

Kekerasan seksual, jika mengutip dari definisi RUU PKS ialah, “Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, atau politik.”

Kekerasan seksual kerap terjadi di lingkungan bermasyarakat, berorganisasi, bahkan di lingkungan pembelajaran. Dilansir dari data Komnas Perempuan, bahwa kekerasan seksual sudah mencapai angka puluhan ribu yang terjadi kurun waktu 2011-2019, baik di ranah privat maupun publik. Di Umah Ramah Cirebon, pun, mendapati kasus serupa yang masuk sekitar 15-20 dalam kurun waktu 2020-Maret 2021.

Dominasi Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Asih Widyowati, dari Umah Ramah Cirebon menyatakan bahwa perempuan menjadi objek kekerasan seksual yang paling dominan. Sebab, hal ini didorong oleh budaya patriarki, relasi kuasa, tafsir teks misogini, lingkungan yang abai. Bahkan, masih minimn sekali regulasi yang mengatur tentang kekerasan seksual. RUU PKS, pun pembahasan masih mengawang.

Hal ini tentu buruk, sebab seseorang yang mengalami kekerasan seksual, dalam dirinya pasti akan merasakan trauma. Trauma sendiri ada dua. “Ada trauma kolektif, ada trauma individu,” jelas Asih. Trauma itu tidak bisa dihilangkan,“Ingatan bisa saja dilupakan. Tapi tubuh, tidak akan lupa, thebodyremember,” tambah Asih menjelaskan dampak dari kekerasan seksual.

Selaras dengan Asih, Mita (Needie N Bitch Yogyakarta), bahwa tubuh itu dapat mengingat. Bahkan dapat menjadi trauma bangkit atau bahkan depresi. Orang yang tidak tahu atau tidak peduli, hanya akan memberi stigma buruk kepada mereka (baca: penyintas).

Maka, untuk menghilangkan segala stigma tersebut, lingkungan menjadi salah satu faktor penting. Sebab, lingkungan yang mendukung, akan membantu penyintas bangkit dari keterpurukan stigma tersebut.

Mita juga berpendapat bahwa, “Permasalahan kekerasan seksual bukan cuma masalah dan tanggung jawab perempuan, tapi juga laki-laki.”

Menjadi Teman Baik bagi Para Penyintas Kekerasan Seksual

Mita berpendapat bahwa setiap orang patut menjadi pendengar baik yang memberikan ruang aman bagi para penyintas, karena sebenarnya, mereka hanya perlu didengarkan. Tidak semua yang mereka ceritakan perlu kita respon dengan jawaban. Dengan mau mendengarkan itu sudah membuat mereka meras tenang. Memberi semangat dan dukungan harus tetap diberikan kepada mereka.

“Jadilah teman dan ruang mana bagi mereka bercerita. Yakinkan bahwa mereka bisa bangkit dari titik rendahnya. Mereka punya kekuatan,” tutur Asih.

Selain itu, Mita juga berpesan, untuk berani mengatakan TIDAK ketika merasa terusik, terganggu ataumembuat diri kita menjadi jadi tidak nyaman.

Penulis        : Rifki Al Wafi

Reporter    : Zulva Azhar

 

 

 

 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama