(Source: Freepik.com)


Sudah sepekan peringatan hari Perempuan Internasional berlalu, hari yang diperingati untuk mengingat perjuangan perempuan yang dicetuskan oleh Clara Zekin, seorang pemikir marxis, sosialis, yang pernah menjadi anggota Komintren suatu asosiasi komunisme internasional. Pada tahun 1908 di sebuah forum konferensi perempuan sosialis II di Konpohangen, Zekin mengusulkan setiap 8 Maret diperingati sebagai hari perempuan internasinoal, tanggal ini dipilih agar dapat mengenang gerakan protes buruh garmen di New York.

Ada banyak kegiatan atau perayaan yang dilakukan oleh berbagai komunitas dan organisasi, mereka biasanya mengadakan berbagai macam diskusi, webinar, peringatan, dan pembuatan pamflet yang bertema perempuan. Tidak ada yang salah dengan cara peringatan hari perempuan dengan model seperti ini, namun apakah hanya sebatas ini saja hari perempuan itu dimaknai?

Perempuan sebagai salah satu makhluk yang memang sering terkena berbagai macam bentuk ketidakadilan gender seperti marginalisasi, kekerasan, subordinasi, stereotip, dan beban ganda. Berbagai macam problematik di atas tentu sangat perlu kita perhatikan, apalagi di tengah budaya patriarki yang semakin kuat, kesetaraan perempuan sudah mutlak untuk diperjuangkan.

Kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin memprihatinkan. Seperti yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan, terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2020. Bentuk kekerasan yang dialami oleh para perempuan itu beragam, di antaranya adalah kekerasan fisik, seksual, ekonomi, dan juga psikis.

Mayoritas pelaku kekerasan ini berasal dari orang terdekat korban seperti suami, pacar, atau teman. Kekerasan ini dapat terjadi di mana saja seperti sekolah, kampus, transportasi umum, dan berbagai macam ruang publik lainnya. Hal itu terjadi karena perempuan masih dianggap sebagai makhluk kelas dua yang lemah serta tidak memiliki kuasa untuk melawan. Masyarakat menstigmakan perempuan atas semua kejadian buruk yang menimpa, menyebabkan perempuan cenderung untuk diam bahkan menyalahkan diri sendiri. Sikap tersebut tidak terlepas dari minimnya pemahaman tentang kesetaraan pada diri perempuan itu sendiri.

Ada banyak kasus korban kekerasan yang lebih memilih diam. Hal yang melatari alasan tersebut adalah karena perempuan tidak sadar bahwa ia adalah korban kekerasan, namun ada juga yang sadar bahwa dirinya adalah korban tetapi tidak berani melapor karena menggangap bahwa hal itu adalah sebuah aib, memalukan, takut mencoreng nama baik seseorang atau instansi.

Di era kapitalisme, perempuan juga masih dianggap sebagai objek pemenuh hasrat, mereka hanya dijadikan bahan untuk pemuas pasar, yang akhirnya malah menciptakan standarisasi kecantikan perempuan. Kapitalisme mengganggap bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang memiliki kulit putih, wajah bersih, badan tinggi, rambut hitam, tubuh seksi, dan lain sebagainya, padahal itu semua hanyalah sebuah fantasi yang terus menerus diproduksi oleh industri media dan kosmetik.

Seharusnnya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak pernah menjadi masalah selagi tidak ada ketidakadilan gender di dalamnya. Baik laki laki atau perempuan bebas untuk melakukan apapun selagi tidak merugikan dan mengambil hak-hak orang lain, mereka bebas hidup tanpa stigma, stereotip, marginalisasi, dan pandangan buruk yang mengikutinya.

Oleh karena itu, di hari Perempuan Internasional ini harusnya dimaknai tidak sekadar sebagai sebuah momentum untuk membuat pamflet, foto-foto, acara, kegiatan diskusi, atau perdebatan tentang kasur, sumur, dan dapur yang membosankan dan acara seremonial lainnya yang riuh hanya dalam waktu sesaat, habis itu hilang tidak berbekas. Kita juga perlu untuk mengawal berbagai macam ketidakadilan gender, kekerasan seksual, stereotip, marginalisasi, dan subordinasi yang masih banyak terjadi disekitar kita. Karena permasalahan ini tidak akan selesai hanya karena dirayakannya hari perempuan saja bukan?


Penulis : Fahmi Labibinajib


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama