LPM FatsOen, Cirebon-Kami mendatangi dan menghubungi praktisi, peneliti sampai aktivis untuk mengusulkan program-program apa saja yang bisa dilakukan oleh organisasi intra kampus, khususnya Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Mahasiswa (DEMA). Mulai dari praktisi hukum, aktivis kampus, feminis sampai peneliti agraria.

Mereka semua bersepakat, bahwa mahasiswa yang menduduki jabatan organisasi intra kampus mempunyai sumber daya lebih: anggaran, waktu, tenaga, pikiran serta akses ke pemangku kebijakan untuk merancang, melaksanakan serta mewadahi ruang-ruang kritis serta menyelesaikan banyak persoalan: mulai dari persoalan kebijakan kampus, isu kekerasan seksual, terlibat dalam masalah rakyat: sempitnya akses pendidikan (putus sekolah dan kuliah), konflik agraria, misioginistiknya negara sampaiagar “melek” hukum.



Program Kesetaraan, Gender dan Isu Kekerasan Seksual

Kami memulainya dari Aisyah Nur Addly, aktivis feminis sekaligus mahasiswa angkatan 2017 Bimbingan Konseling Islam (BKI). Aisyah, panggilan akrabnya, kini sibuk di berbagai acara dalam komunitas Women March Cirebon (WMC). “Malam minggunya kita wawancara untuk Fatsoen, gak ada agenda bucin kan?” kata kami. “Ya wawancara, ya bucin juga dong,” kelakarnya via pesan daring.

Kami putuskan bertemu di warung kopi. Kami mengobrol persoalan kesetaraan gender dan isu-isu kekerasan seksual, “Di kampus gua, keramahan terhadap gender masih kurang,” katanya. Misalnya, dalam cerita Aisyah, bagaimana dosen memperlakukan perempuan dalam seminar di jurusannya. “Ada forum besar, seminar gitu,” kata Aisyah. “Pesertanya cewek-cowok, tapi banyakan cewek. Dia ngomong gini ‘wah mahasiswinya lebih banyak ya dari pada mahasiswa, ini bisa nih kalau misalnya 1:3, poligami'. Anjir, malu gua. Disitu gua kaya pengen turun dari panggung kebetulan itu gua moderator kan,” katanya kesal.

Nah dari cerita seperti itu, masih kata Aisyah, penting sekali mengenalkan kesetaraan gender dan isu kekerasan seksual pada khalayak, khususnya di lingkungan kampus. “Dia kan dosen nih, gue kesel banget, maksudnya lu itu lagi ngajar mahasiswa se-enggaknya lu tuh jaga akhlak, jaga sikap ya. Kaya kagak ada attitude-nya,” katanya geram.

Juga orang-orang merasa sudah menghargai perempuan, tapi di satu sisi sebenarnya sedang menjatuhkan perempuan. “Ya kaya tadi, niatnya bercanda dan merasa menghargai perempuan, tapi kan gak lucu dan apasih,” katanya.

Pengalaman buruk lainnya, Aisyah menjadi korban kekerasan seksual, saat dirinya di lampu merah, “Gua setiap di lampu merah, gua deg-degan banget. Takut ada yang nyelemot payudara gua. Takut karena sebelumnya gua dilecehkan. Jadi, setiap di lampu merah kaya ‘aduh anjir takut kan,maksudnya siapa anjir megang-megang, tanpa consent, gua lemes kaya apa. Waktunya lampu ijo gua ngga ngegas, kaya itu anjing, gua lemes banget,” katanya geram.

“Sampai sekarang gua masih ke trigger, sampai gua kalo lagi di lampu merah, gua masih bingung. Bukan cuma setiap gua berhenti di lampu merah saja. Kalau misal, palang rel kereta kan pasti berhenti juga kan, itu tuh kayak was-wasnya ‘kayak ini samping gua siapa, samping gua siapa’. Ada kemungkinan nggak ya dia tangannya nyelemot, maksudnya jadi takut mulu sepanjang jalan. Apa kabar sama yang diperkosa, apa kabar yang dipukulin sama lakinya, misalnya yang dipaksa lu, maunya ga mau pake kondom. Itu semua traumanya kayak apa sampai entar nikah bisa jadi belum selesai,” lanjutnya.

Dari berbagai masalah yang menimpa dirinya itu, bagi Aisyah penting sekali untuk mereka yang menduduki jabatan strategis kampus membuat berbagai program mengenalkan gender, isu-isu kekerasan seksual dan semacamnya. Lebih-lebih, masih kata Aisyah, kekerasan dan pelecehan seksual itu banyak dari teman-temannya telah menjadi korban. Makanya, penting mengenalkan gender dan isu kekerasan seksual.

“Orang-orang kan tidak aware karena tidak tahu, bahwa kelakuannya melecehkan dan melakukan kekerasan seksual: memperkosa,catcalling (suit-suit dll), bodyshaming (mengolok-olok tubuh kita gendut lah dll), memegang tubuh orang tanpa ada persetujuan dan lain sebagainya,” katanya. Nah, kalau tidak mengerti itu semua kan. Kaya-kaya nih, perlakuan itu semua wajar adanya. Padahal ya tidak,” lanjutnya. Makanya perlu pendidikan gender dan isu-isu kesetaraan, agar paham apa saja kekerasan seksual, bagaimana consentbekerja, apa saja gender dan lain sebagainya.

 Aisyah menawarkan program sekolah gender, kampanye isu kekerasan seksual dan kalau bisa mah sampai tahap advokasi masalah yang menimpa masyarakat kampus perihal kekerasan seksual.

Bikin program sekolah gender itu biayanya murah sekali, kata Aisyah. “Minum, makan dan jajanan bawa sendiri. Pemateri juga seabrek. Ada yang dekat banget dari kita, cuma satu langkah. Teman-teman Fahmina, ada Buya Husein, Pak Marzuki, Terh Nurul sebagai founder Cirebon Feminis, Zaki Faqih yang bikin mubadalah, dari UCC ada Mawar Balqis dan lain sebagainya. Mereka semua kan sudah berjejaring dengan kampus kita,” sambungnya.

Dalam tataran kampanye dan advokasi kekerasan seksual, bagi Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa, jika memang tidak cukup tenaga. Ya ajak institusi atau komunitas yang fokus ke sana, kolaborasi. Kan banyak institusi, komunitas dan lain sebagainya. “Kalau di Fakultas Syariah ada yang namanya Family and Mediation Center(FMC) itu ada di jurusan HKI (Hukum Keluarga Islam), PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak), WMC (Women March Cirebon), Cirebon Feminis dan lain sebagainya.

“Sebelum kita kampanye dan advokasikan kita harus punya satu perspektif yang sama, tentang gender dan kekerasan seksual. Kalau nggak ya bulshitaja, sama aja. Jangan cuma buat nyari panggung, maksud gua, elu edukasi, kampanye dan advokasi. Tetapi ternyata elu pelaku kekerasan seksual,” pungkasnya.

Mengawal kebijakan dan Isu-isu Kampus

Kami mendatangi Mohamad Yusuf Ardabili, aktivis kampus yang aktif di berbagai komunitas, salah satunya Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). “Isu-isu kampus banyak yang mesti dikawal sebanarnya, apalagi di tengah krisis karena pandemi,” kata Billy yang sedang sibuk menyusun skripsi dari Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI).

Persoalan UKT yang menjadi biang kerok putus kuliah dan semakin tahun semakin mahal, diskusi maupun pengawalannya tidak konsisten kan. Nah itu salah satu yang bisa dilakukan oleh teman-teman Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa.

Masih kata Billy, tapi sebelum jauh ke sana (mengawal UKT), dipahami dulu tuh. Apa UKT itu, bagaimana sistemnya, apa saja landasan hukumnya dan lain sebagainya. Jangan kemudian serampangan, mengawal UKT cuma teriak-teriak di aksi doang.

Lebih jauh, Billy menjelaskan bahwa sistem UKT itu sistem subsidi silang, “Makanya kenapa itu UKT ada beberapa golongan. Kalau ditingkat Universitas, ada 7 golongan. Kalau seperti kampus kita, institut itu 5 golongan. Penggolongan itu, agar golongan atas bisa mensubsidi golongan bawah. Juga selain itu, penggolongan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga.

“Kan kita selama ini belum tahu tuh, apakah di kampus kita penggolongan itu, sudah sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga serta golongan atas dan bawah sudah proporsional belum. Itu tugas mereka (SEMA dan DEMA) mencari tahu,” lanjutnya.

Lebih-lebih di tengah krisis ekonomi karena pandemi, kampus dan negara terus-terusan meminta mahasiswa membayar UKT full. Ya meski di kampus kita ada pemotongan untuk beberapa mahasiswa. Tapi kan, krisis ekonomi ini menghantam semua mahasiswa. Bukan beberapa mahasiswa saja.

Kedua, persoalan subsidi kuota dan pemenuhan hak belajar daring. “Kita kan bayar UKT full, fasilitas kampus tidak kita dapatkan. Seharusnya dialihkan ke fasilitas belajar daring: kuota, refrensi buku online, jurnal dan semacamnya. Selama ini kita tidak mendapat apa-apa,” kata Billy.

“Oh ya, persoalan UKT ini juga kan sistemnya pembayaran satu pintu. Itu kenapa namanya Uang Kuliah Tunggal. Jadi, tidak boleh ada pembayaran lagi di luar UKT. Di kampus kita banyak ya, bayar-bayar di luar UKT. Bimbingan PPTQ, yang katanya program unggulan kampus, malah disuruh bayar. Ini bukan persoalan bayarnya kecil atau besar. Tapi kelakuan menarik di luar UKT adalah pungutan liar. Belum penarikan lainnya: studi banding, KKN, ospek dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Billy juga menyoroti isu-isu yang lain, bagaimana kampus kita yang gemar sekali mengatakan untuk taat peraturan. Tapi birokrasi kampus, sering melanggar aturan. Misalnya, persoalan intensif. “Di KRS kan hanya 2 SKS, tapi realitanya lebih dari 2 SKS. Itu kan tidak taat aturan. Harusnya kalau satu SKS 50 menit, belajarnya ya 100 menit dalam satu minggu. Bukan malah 3 sampai 4 jam dua kali dalam satu minggu,” ujarnya.

“Satu lagi, aku kelupaan tadi,” katanya sebelum wawancara kami usai. “Dari tadi kan hanya persoalan mahasiswa, sedangkan masyarakat kampus kan bukan hanya mahasiswa. Ada OB (Office Boy) dan OG (Office Girl), satpam, dosen kontrak dan pegawai lainnya. Nah, disurvei itu perihal gaji layaknya, kesejahteraannya, bagaimana kontraknya dan beban kerjanya. Jangan-jangan, ada ketidakadilan di sana,” ungkap Billy.

“Saya pribadi sih, sensitivitas terhadap segala kebijakan yang tidak pro masyarakat kampus. Dengan punya sensitivitas, maka keberpihakan teman-teman yang menjabat di intra kampus bisa memberikan sumbangsih dan memang untuk kemaslahatan masyarakat kampus,” katanya.

Program Isu Agraria

Setelah dua aktivis memperbincangkan konsentrasi gerakannya masing-masing, kami mendatangi Ahmad Syatori peneliti cum aktivis agraria di ruang kerjanya. Syatori, panggilan kesehariannya mengenalkan kepada kami perihal agraria.

“Manusia itu harus mengenal lingkungan yang mereka tinggal, minimal desanya lah. Agraria itu luas. Menyangkut semua hal, tanah dan teman-temannya itu agraria. Mahasiswa itu mesti mengenal agraria, lebih-lebih yang ekonominya berbasis tanah: tani. Harusnya tidak tani juga, di perkotaan pun sama. Bagaimana perumahan itu dikelola. Bagaimana proses orang memiliki rumah itu. Bagaimana hubungan antara orang-orang di situ,” ungkap Syatori yang kini menjabat Wadek 3 di Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam.

Syatori lebih jauh menjelaskan “Bahwa agraria itu kan, tanah yang di atasnya ditata dan dikelola. Banyak mahasiswa yang tidak tahu. Mahasiswa yang orang tuanya bertani, tidak tahu cara orang tuanya bertani. Itu kan menurut saya konyol, mahasiswa yang seperti itu. Minimal memahami apa-apa yang terjadi disekitarnya,” tandasnya .

Syatori mengkritisi bagaimana kampus tidak memberikan ruang secara proporsional dalam memahami persoalan-persoalan yang ada di desa. Kalau pun ada, hanya dalam program KKN. Selebihnya hanya urusan-urusan kemahasiswaan. Padahal penting sekali menerjunkan mahasiswa di desa-desa. Alasan Syatori adalah karenatidak ada mahasiswa yang tidak terlahir bukan di tengah-tengah masyarakat. Maka, karena kita berasal dari masyarakat ya hidup kita untuk masyarakat.

“Dikiranya, kalau kajian-kajian, penelitian dan pengabdian di masyarakat hanya untuk jurusan-jurusan tertentu. Ya enggak lah. Tidak ada urusannya dengan jurusan ini mah. Semua jurusan wajib memahami ini. Mau ekonomi, jurusan pendidikan, bimbingan konseling atau apapun itu,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Syatori memaparkan bahwa kalau enggak diberi ruang oleh kampus, diciptakan seharusnya. Sebab,banyak orang yang paham teori, tapi tidak mau melakukan. Mereka paham teori persoalandesa. Tapi tidak berkecimpung langsung dengan persoalan, dengan masyarakat. Coba saja perhatikan, dari mulai HMJ, SEMA dan DEMA dari Fakultas sampai Institut kegiatannya apa. Paling banter, kegiatan ke masyarakat cuma donasi saja. Dan itu siapapun bisa melakukan, bukan hanya mahasiswa. Anak punk saja, nyari donasi bantuan di jalanan, kata Syatori.

“Kalau sudah SEMA dan DEMA Institut mestinya kegiatannya jangan hanya itu (donasi). Semua juga bisa, kalau hanya minta sumbangan tanpa koordinasi ini-itu pun, siapapun bisa langsung gerak. Permasalahan masyarakat ini kan kompleks, kegiatan-kegiatan untuk memahami masalah tersebut minim sekali dari SEMA dan DEMA Institut,” kata Syatori.

“Dampak dari minimnya keterlibatan mahasiswa dalam masyarakat, pada akhirnya antara dunia kampus dan dunia nyatanya di masyarakat, gak sambung. Ini problem mendasar dari kehidupan mahasiswa,” sambungnya.

Syatori mencontohkan bagaimana bergerak dan mengorganisir di desa. Selain butuh konsistensi dan militansi yang tinggi, bukan berarti pengorganisiran di desa tidak bisa dilakukan oleh mahasiswa.

Saya punya bayangan turun di desa begini, kata Syatori memulai membuat program di desa. Setiap anggota dari lembaga: HMJ, SEMA atau DEMA kan pasti kan berasal dari desa. Nah, terjunkanlah mereka ke desanya masing-masing. Identifikasi apa saja masalah di desa. Soal pendidikan misalnya, yuk kita data ada gak sih di kampung kita yang putus sekolah. Cari anak-anak yang putus sekolah. Di data dulu, oh ternyata ada sekian. Pak kepala desa tau enggak ada ini. Warganya ada yang putus sekolah ini. Kelas 4 SD sudah tidak lanjut ini. Lalu bagaimana kita sebagai pemuda menyelesaikan masalah ini? Kan itu melakukan sesuatu. Entah bikin sekolah alternatif untuk mereka. Kalau bisa ya cari akses untuk pendidikan mereka.

Itu semua simpel, kalo mau lebih berat lagi banyak. Begitu selesai penelitian, dia bisa jadi aktivis di desanya dan mengabdi di sana. Biar di kampungnya, mahasiswa itu jadi leader semua.Agar mahasiswa bisa aktif dan produktif di kampungnya.

“Di kampus belajar teori, konsep dan metodenya. Di kampung  praktiknya: mengorganisir dan memberikan edukasi pada masyarakat. Minimal desanya sendiri,”ucap Syatori. “Sok-sokan di sini (kampus) jadi aktivis, ketua HMJ, Fatsoen, ketua DEMA dan SEMA. Begitu pulang, di kamar aja gak ngapa-ngapain.Dengan karang taruna gak gaul, dengan remaja masjid gak gaul, dengan anak-anak muda di sekitar kampungnya gak gaul. Gak bisa melakukan apa-apa.Kegiatan mahasiswa banyak yang gak mutu, orientasinya hanya hura-hura. Petantang-petenteng, di kampus jadi ketua ini dan itu. Di rumah gak jadi apa-apa. Cupu, di kamar terus, main game. Temannya itu-itu aja. Di kampungnya gak punya relasi,” pungkasnya.

Program ‘Melek’ Hukum

Terakhir, kami menghubungi praktisi hukum dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Cirebon, Diding Rahmat. “Kita ngopi-ngopi di depan kampus IAIN saja,” kata Diding, sapaan akrabnya, saat ditanya pertemuan untuk wawancara via Whatsapp.

“Sebab, hari ini laku kritis mahasiswa harus didasari hukum. Karena kalau mahasiswa tidak memahami hukum, bisa jadi nanti mahasiswa akan keseleo atau berhadapan dengan hukum,” kata Diding, yang juga dosen UNIKU. “Bahkan khawatir dikriminalisasi, seperti yang banyak terjadi diantara mahasiswa yang kritis dihadapkan pada UU ITE. Oleh karena itu, hukum sebagai dasar negara itu harus dipahami oleh mahasiswa. Sehingga ketika mahasiswa melakukan gerakan, ketika mahasiswa melakukan peningkatan kesadaran kritisnya harus berdasarkan hukum,” sambungnya.

Diding menjelaskan lebih jauh, bagaimana pemahaman hukum penting sekali untuk mahasiswa. Agar mahasiswa mengetahui hak-haknya, misalnya perihal memperjuangkan kepentingan sosial ekonomi mahasiswa. Apa kepentingan sosial ekonomi mahasiswa berkaitan dengannilai-nilai, berkaitan dengan sarana prasarana, berkaitan dengan metodologi mengajar, kualitas dosen, kurikulum, membangun kesadaran mahasiswa, memperjuangkan kepentingan-kepentingan mahasiswa, kepentingan problem mahasiswa. Apa problem kepentingan mahasiswa? Problem di  masa ini apa? Apakah kuota, apakah SPP diturunkan atau apakah mimbar akademiknya yang kurang maksimal dan lain-lainnya. Nanti dianalisa sendiri kemudian setelah dianalisa di  perjuangkan, perjuangkanlah itu.

Nah sebelum menganalisa masalah-masalah itu semua, kata Diding, kan kita membutuhkan data dan bagaimana kita bisa mendapatkan data itu. “Sebab, salah satu hak dasar sebagai warga negara adalah hak asasi terhadap informasi vide Pasal 28 F UUD 1945, terkait kebebasan mendapatkan informasi negara memberikan dasar hukum yaitu UU terkait dengan Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana UU No.14 Tahun 2008,” tuturnya.

Memang tidak mudah untuk mendapatkan data, karena alasan-alasan tertentu. Hal itu, kata Diding, selain melalui audiensi dengan birokrat kampus, agar bisa mendapatkan data yang dibutuhkan. Bisa ditempuh melalui gugatan hukum.

“Bisa dengan mengajukan permohonan informasi disertai alasan pentingnya informasi tersebut kepada pejabat/badan publik, alhamdulillah Kota Cirebon sudah punya Komisi Informasi. Tentu,jika ada pihak yang tidak memberikan akses informasi dan dirasa akses informasi itu penting gitu ya. Maka ada upayanya, apakah nanti melakukan upaya hukum terhadap Komisi Informasi dengan cara ngajuin permohonan/keberatan terhadap pihak-pihak pejabat/badan publik yang tidak memberikan informasi, bahkan bisa melakukan laporan pidana berdasarkan Pasal 52 UU KIP terhadap badan publik yang tidak memberikan infomasi tanpa alasan yang jelas bisa di pidana dengan sanksi 1 tahun penjara dan denda 5 Juta,” ungkapnya.

Upaya menumbuhkan kesadaran akan hukum, kata Diding, harus dimunculkan dengan banyak kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada studi studi hukum seperti entah itu diskusi, pelatihan, kemudian workshop atau semacam pembentukan studi-studi hukum itu bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa akan hukum.

Lebih jauh, Diding menerangkan bahwa di alam demokrasi harusnya keterbukaan informasi menjadi hak dasar warga negara. Sebab, esensi demokrasi adalah esensi transparansi, esensi partisipasi, dan kemudian adanya emansipasi. Nah kalau itu tidak ada ya sudah kemudian ada yang kurang dari nilai-nilai demokrasi.

“Jadi, semakin terbuka akan informasi, semakin bagus,” ungkapnya.

Bukan hanya persoalan di kampusnya yang menjadi fokus mahasiswa, kata Diding, mahasiswa sebagai pelopor gerakan harus peka terhadap permasalahan rakyat. Karena mahasiswa banyak punya waktu luang, banyak waktu membaca buku,waktu untuk berdiskusi. Itu yang tidak dirasakan oleh buruh dan Tani.

Buruh kapan  berdiskusinya? Kerja dari jam 05.00 pagi misalkan, baru selesai jam 5 sore sudah tunduh manten udah ngantuk duluan kan. Terus petani juga disibukan dengan mencangkul dan segala macam: mikirin bibit, tanah. Kapan berdiskusinya.

Sehingga mahasiswa lah yang punya inisiatif untuk kemudian membaca situasi nasional, membaca situasi problem-problem petani miskin, problem-problem buruh miskin dalam konteks negara kita yang kemudian banyak problem petani yang kemudian tidak punya tanah, belum lagi problem bibit, problem distribusi hasil tani, problem impor hasil pertanian.

Kemudian, belum lagi problem buruh terkait upah buruh, belum lagi buruh-buruh yangoutsourcing, buruh paruh waktu. Apalagi nanti justru ada buruh yang sifatnya per- jam, ART. Itu kan hal-hal yang kemudian harus menjadi perhatian mahasiswa untuk bagaimana mengubah kondisi-kondisi untuk kebaikan.

Kalau bahasa yang sering kita dengar adalah bagaimana yang dilakukan oleh Nabi kita Muhammad SAW, ia mampu dengan ayat Iqranya, dia bisa membaca realitas Makkah, yang pada saat itu dalam kondisi perbudakan, yang kemudian beliau melawan perbudakan itu dengan mencoba membangun konsep memanusiakan manusia. Kemudian, sering kita dengar istilah zaman Jahiliyah  bisa dihancurkan. Nah itu, mahasiswa harus paham peran, perannya adalah support, kemudian integral.

Kedua, lebih tinggi lagi integral. Integral itu ya menyatu dengan petani miskin untuk memperjuangkan nasib petani miskin, menyatu dengan buruh miskin untuk memperjuangkan nasib buruh. Dalam konteks sosiologi, kemajuan negara itu harus sejahtera buruhnya, harus maju petaninya, pasti maju ini negara. Kalo petaninya miskin, buruh upahnya rendah, apalagi buruh PRT belum ada peningkatan. Juga akan sia-sia, kita ngomongin negara yang adil, makmur dan blablabla, yang ideal gitu.

Kalau yang saya pahami itu pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Pendidikan itu bukan untuk menghasilkan pekerja-pekerja yang disiapkan untuk pasar. Tapi, pendidikan itu harus dijadikan sebagai alat untuk menyelesaikan problem bangsa, problem hutang, problem penguasaan sumber daya oleh orang asing, problem kemandirian ekonomi, problem ketidakadilan hukum, problem kesejahteraan sosial.

“Pendidikan sudah hadir ngga ke sana? Jangan-jangan kampus sebagai tempat pendidikan seperti menara gading saja. Ngomongin kemiskinan di kelas, tapi ketika sudah keluar kelas, lupa. Kemiskinan yang terjadi di lingkungannya, terjadi di daerahnya, terjadi di negaranya,” pungkas Diding.

Penulis: Sulthoni

Reporter: Sofi, Nisa, Dian, Rifaldi dan Delima.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama