Abu Nawas, atau nama lengkapnya Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami, adalah salah satu nama yang paling bersinar sekaligus kontroversial dalam sejarah sastra Islam, khususnya pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah. Penyair legendaris ini dikenal melalui kisah-kisah penuh humor dan kecerdikan, serta syair-syairnya yang terang-terangan (dikenal sebagai khamriyyat) memuji kenikmatan anggur dan duniawi. Namun, di balik citra hedonis yang melekat erat pada dirinya, Abu Nawas meninggalkan satu warisan spiritual yang melampaui segala anekdot lucunya: Syair "Al-I'tiraf" (Pengakuan).
Karya ini bukanlah sekadar puisi biasa, melainkan sebuah monumen agung pengakuan dosa dan kerinduan spiritual yang menggambarkan puncak perjuangan batin seseorang yang menyadari kelemahan dan kefanaannya.
Simbol Kerendahan Hati: Menggugah Jiwa yang Tersesat
Syair Al-I'tiraf diyakini ditulis pada masa akhir hidup Abu Nawas, mencerminkan pergulatan batinnya yang mendalam. Kontras yang tajam antara gaya hidupnya yang fasik di masa lalu dan ketulusan do'anya saat itu membuat syair ini memiliki daya tarik spiritual yang tak lekang oleh waktu.
Syair ini dibuka dengan pengakuan dosa yang mengguncang hati, sebuah baris yang menjadi inti dari pesan kerendahan hati:
"Ilahi, lastu lil firdausi ahlan, Tuhanku, aku bukanlah ahli surga-Mu,
wa laa aqwaa 'alaa naaril jahiimi. Namun tak sanggup pula menahan siksa neraka-Mu."
Kalimat ini adalah inti dari kerendahan hati sejati, pengakuan jujur bahwa diri tak pantas mendapatkan surga, namun diiringi rasa takut mendalam terhadap siksa api neraka. Di dalamnya, tidak ada pembelaan diri, hanya ada penyerahan mutlak kepada Sang Pencipta.
Kemudian, Abu Nawas membangun fondasi harapannya hanya kepada Dzat yang memiliki sifat Al-Ghafuur (Maha Pengampun).
"Fa habli taubatan waghfir dzunuubi, Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosa-dosaku,
fainnaka ghaafirudz dzambil 'azhiimi.
Sesungguhnya Engkau adalah Pengampun dosa yang besar."
Melalui lirik ini, Abu Nawas menyampaikan keyakinan total bahwa sebesar apapun dosanya di masa lalu, rahmat Tuhan jauh lebih luas dan selalu tersedia bagi hamba yang memohon dengan tulus.
foto: Wikipedia
Mengapa Al-I'tiraf Erat dengan Hari Jumat?
Syair Al-I'tiraf bukan hanya dikenang, ia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi spiritual, terutama di Nusantara. Di banyak komunitas muslim, syair ini sering dilantunkan pada malam atau siang hari Jumat, khususnya setelah shalat fardhu. Tradisi ini mengakar kuat karena dua alasan utama:
1. Momentum Terbaik untuk Bertaubat
Hari Jumat diyakini sebagai sayyidul ayyam (penghulu hari) dan merupakan waktu di mana doa memiliki peluang besar untuk dikabulkan. Melantunkan Al-I'tiraf pada hari ini berfungsi sebagai pengingat spiritual kolektif yang kuat untuk melakukan muhasabah (introspeksi). Syair ini menawarkan kesempatan untuk memanfaatkan momen terbaik dalam sepekan untuk memperbarui janji taubat dan memohon ampunan, memanfaatkan jam-jam emas yang disediakan oleh hari Jumat.
2. Amalan di Majelis dan Pesantren
Di banyak pesantren dan majelis taklim, Al-I'tiraf diajarkan sebagai pelengkap zikir dan wirid pada hari Jumat. Melodi yang sederhana namun mendalam membuatnya mudah dihafal dan dijadikan amalan spiritual yang rutin. Tradisi ini menancapkan kesadaran bahwa seberapa pun sibuknya urusan dunia yang dikerjakan selama enam hari, hari Jumat adalah batas waktu untuk berhenti sejenak, menenangkan diri, dan menyerahkan diri seutuhnya, persis seperti yang diungkapkan oleh sang penyair.
Warisan Ketulusan Sang Hamba Biasa
Kekuatan abadi dari Al-I'tiraf adalah sifat universalitasnya. Abu Nawas menjadi representasi manusia biasa yang jatuh dan berbuat dosa, tetapi pada akhirnya menemukan jalan pulang. Kisah Abu Nawas mengajarkan kita bahwa pintu taubat terbuka lebar bagi siapa pun, tanpa memandang masa lalu. Fokus utama dalam hidup bukanlah pada gelar kesucian, melainkan pada ketulusan taubat saat kembali kepada-Nya.
Syair agung ini adalah kunci abadi yang ditinggalkan Abu Nawas untuk setiap jiwa yang ingin menemukan kembali rahmat Tuhan, sebuah pengingat bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu jauh untuk kembali ke jalan ampunan-Nya.
Penulis: Farkhan Rizki Anwar
Editor: Desi Rahmawati