layout: Fadhil Muhammad RF
Satu hari terakhir di bulan September. Namun tolong, jangan sedikitpun berpaling tatapanmu dari cermin retak dan berdebu, sebab itulah negerimu. Sejak 1965, terlalu banyak cerita pilu. Ini tentang deretan nama yang tak bisa lagi bersuara, juga tentang luka yang tak kunjung sembuh atau sekedar diobati.
Tragedi 1965 menjadi satu dari deretan noda membandel sepanjang sejarah Indonesia. Ratusan ribu orang dituduh, ditangkap, bahkan dibunuh tanpa pengadilan yang adil. Mereka dijadikan musuh negara hanya karena label politik yang disematkan. Tak berhenti kepada korban, sebab keluarga korban pun mendapat tekanan serupa; dicap antek PKI.
Bertahun-tahun setelahnya, tragedi berdarah kembali terjadi di utara Jakarta, Tanjung priok. Bermula dari arogansi Sertu Hermanu, menyebabkan catatan sejarah yang amat pilu. Lebih dari 20 orang tewas, dan ratusan orang ditangkap demi stabilitas semu rezim anti kritik kala itu. Tanjung Priok 1984 menjadi catatan kelam represifitas aparat terhadap kritik dari rakyat.
Empat hari mencekam, 24 hingga 28 September 1999. Jembatan semanggi menjadi titik perlawanan terhadap RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Penolakan ini bukan tanpa sebab. Bayang-bayang rezim otoriter masih membekas. Trauma belum sepenuhnya hilang kala rakyat bersukacita merayakan kebebasan, usai dikekang selama tiga dekade.
Semanggi (kembali) menjadi arena pertempuran rakyat dan aparat pengamanan. 217 orang luka dan 11 tewas sebab aparat membabi buta terhadap demonstran. Sialnya, PANSUS wakil rakyat tahun 2001 menyepakati bahwa tragedi Semanggi II dan tragedi Semanggi I, bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Hal yang miris ketika seorang aktivis Hak Asasi Manusia, harus direnggut hak asasinya untuk bernyata sebagai manusia. Munir Said Thalib, penerbangannya menuju Amsterdam pada September 2004, menjadi penerbangan yang terus terbang membayang-bayang, tanpa pernah mendarat di ruang keadilan. Dua dekade diracunnya Munir, hasilnya hanya spekulasi semu, tanpa pernah jelas siapa yang pelaku.
Lagi-lagi pembunuhan, seolah nyawa manusia yang melawan teramat murah di negeri ini. Salim Kancil, seorang petani yang tegas menentang penambangan liar di Lumajang, tewas dibunuh preman pada September 2015. Pelakunya memang dijebloskan ke dalam jeruji, namun dalangnya masih liar tak pernah dihakimi.
Enam tahun yang lalu, demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai penjuru negeri. Berbagai tuntutan terakumulasi dalam satu aksi; pembatalan UU KPK, penuntasan pelanggaran HAM dari masa ke masa, dan penolakan terhadap sejumlah RUU bermasalah.
Kembali, arogansi wakil rakyat terpancar jelas kala itu. #MosiTidakPercaya digaungkan, seiring #ReformasiDikorupsi disuarakan. Rakyat kembali dibenturkan dengan aparat. Hari yang kelam di berbagai daerah, lima orang tewas, dua diantaranya terjadi di Kendari, Randi dan Yusuf dibunuh polisi.
Setahun berselang, kasus pilu datang dari ujung timur nusantara. Pendeta Yeremia disiksa hingga tewas oleh tentara di kandang ternak milik sang pendeta. Peradilan bagi para pelaku dianggap tak memuaskan, vonis satu tahun penjara.
Namun fakta ironinya tak berhenti sampai di situ. Saat istrinya menemukan Pendeta Yeremia tergeletak dalam kondisi tak berdaya, kalimat terakhir dari Pendeta menjadi tikaman yang sangat telak; pengkhianatan.
"Orang yang kita kasih makan yang tembak dan tikam," ucap sang pendeta.
Pendeta Yeremia tewas di tangan pasukan pimpinan Alpius, anggota TNI yang sangat akrab, bahkan dianggap anak sendiri oleh pendeta Yeremia dan istrinya. Alasannya karena tuduhan keterlibatan Pendeta Yeremia dengan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua. Tuduhan yang didasari oleh lantangnya pendeta menanyakan keberadaan dua keluarganya yang hilang.
Hingga saat ini, September selalu dikenang sebagai bulan penuh noda. Sayangnya, generasi demi generasi dibesarkan dengan cerita yang dipelintir, bahkan disembunyikan. September menjadi bulan yang terus mengingatkan kita bahwa ada utang sejarah yang alih-alih dilunasi, justru ditambah terus menerus.
Mengingat rentetan tragedi tadi bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi juga sebagai cara agar kebenaran tak akan lekang. Sebab ketika kita berhenti menyebut nama mereka, di situlah kemenangan terbesar bagi penindasan dan kesewenang-wenangan.
Biarkan September berlalu, menyisakan api kecil yang tetap menyala dan akan terus terjaga.
Penulis: Fadhil Muhammad RF