(Illustrasi : Fauzan Alfani)

LPM FatsOen, Cirebon-Pusat Studi Gender dan Anak(PSGA) merupakan tim yang dibentuk dalam rangka melakukan pencegahan,penanganan serta perlindungan kepada masyarakat kampus terhadap kekerasan seksual berbasis gender yang terjadi di lingkungan IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Tim PSGA tersebut dinahkodai oleh Naila Farah, dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) yang dilantik langsung pada tanggal 16 Oktober 2020 lalu oleh Rektor. Tim yang beranggotakan 14 orang yang terdiri dari jajaran dosen tersebut dibuat untuk merumuskan kebijakan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual yang kemudian dilaunching oleh salah satu tim PSGA dalam webinar pada tanggal 30 Desember 2020.

Pembentukan tim tersebut perlu dilakukan karena setiap perguruan tinggi di Indonesia harus mempunyai peraturan rektor tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual, apapun itu kampusnya. Sebagai pimpinan tim, Naila mengakui bahwasanya kampus IAIN sendiri sudah tertinggal dari kampus lain dalam penetapan peraturan rektor, karena sebenarnya himbauan mengenai hal tersebut sudah lama dilayangkan namun baru terealisasi. Mengenai awal mula terbentuknya PSGA sebenarnya sudah ada sangat lama, bahkan sejak kampus IAIN berdiri, namun eksistensi PSGA sendiri baru tercium akhir-akhir ini.

Pembentukan PSGA merupakan tuntutan dari pemerintah pusat, karena pada realitanya selama ini banyak terjadi praktik diskriminasi yang menjadikan perempuan sebagai obyeknya. Komnas perempuan menyatakan bahwa “Setiap universitas, lembaga, organisasi, itu tidak boleh ada diskriminasi perempuan”. Berdasarkan hal itu maka dibentuklah tim PSGA sebagai garda terdepan dalam menangani kasus diskriminasi khususnya terhadap perempuan. Bukan hanya untuk menangani kasus diskriminasi, namun PSGA juga turut menyuarakan kesetaraan gender.

Didirikan PSGA itu ya untuk menekankan bahwa laki-laki dan perempuan itu harus sama, bukan laki-laki saja yang bisa jadi Dekan, perempuan juga bisa selama dia mampu.  Bukan hanya laki-laki saja yang bisa jadi Rektor, perempuan juga bisa. Jadi disini, Komnas perempuan menginginkan setiap lembaga atau organisasi apapun itu 30% dari 100% harus ada perempuannya.Dan salah satu bukti kampus kita mendukung peraturan Komnas perempuan dan pemberdayaan perempuan, itu dengan menempatkan posisi-posisi di universitas, fakultas, atau bahkan di Rektorat itu ada perempuannya, tukas Naila.



Setelah resmi dilantik, tim PSGA segera bertindak cepat mengingat kekerasan seksual merupakan sesuatu yang urgent. Tim PSGA sendiri tanpa menunggu lama segera merumuskan Surat Keterangan yang berisi kebijakan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus. Setelah hampir setengah bulan, akhirnya surat tersebut mendapat persetujuan dari pihak Rektor.

Sebelum dibuatnya peraturan rektor mengenai PPKS (Pencegahan Penanggulangan Kekerasan Seksual).Berangkat dari survey melalui google form yang selanjutnya diisi oleh seluruh masyarakat kampus dan sekitarnya, seperti mahasiswa, dosen, hingga karyawan cleaning service bahkan pedagangpun tak dilewatkan. Setelah data terkumpul, hasilnya menunjukan bahwasanya banyak sekali terjadi kasus kekerasan seksual di sekitar kampus, mayoritas yang membuat aduan tersebut ialah dari kalangan mahasiswa dan korbannya didominasi oleh mahasiswi.

Untuk memperjelas arah langkah serta penerapan standar operasional PSGA, maka diperlukan Standar Operasional Prosedur (SOP). Namun untuk SOP sendiri belum mendapat persetujuan dari pimpinan.

Jadi tinggal nunggu di-acc oleh pimpinan, tim PSGA bekerja dengan baik jadi peraturan rektor bisa langsung jadi, dan dari peraturan itu ada pertemuan di Jogja dengan Komnas perempuan dan PSGA Cirebon diundang untuk mempunyai peraturan tentang PPKS.Dari situ, Komnas HAM perempuan sudah mengeluarkan peraturan rektor itu adanya SOP. Dan untuk kedepannya mudah-mudahan tahun ini Ibu sudah konsultasi dan lapor ke pimpinan untuk adanya ruang konsultasi tentang kekerasan seksual.Jelas Naila.

Dalam perjalanannya, SOP tersebut tidak secara sim salabim jadi dan ditetapkan. Berdasarkan yang disampaikan oleh Ketua LP2M, Ahmad Yani, SOP yang telah diajukan pada bulan Januari tersebut perlu dibedah terlebih dahulu oleh pimpinan, lalu ditimbang tepat atau tidaknya. Namun faktanya hingga saat ini SOP tersebut belum kunjung dibedah. Naila sebagai pimpinan PSGA sendiri mengaku telah mengajukan permohonan pembedahan SOP di awal bulan februari, namun sampai saat ini belum jugaa mendapat fasilitas akan hal tersebut.

Selain itu, Naila mengungkapkan bahwa sejak November lalu PSGA sudah mengajukan fasilitas berupa ruangan. Namun hingga saat ini belum diberikan sehingga konsultasi dengan korban kekerasan seksual yang sejauh ini dilakukan hanya sebatas melalui pesan pribadi kepada pimpinan atau tim PSGA. Hal ini menunjukkan bahwasanya pihak kampus belum begitu serius dalam mendukung perkembangan PSGA yang pada dasarnya memberikan banyak pengaruh bagi marwah kampus sendiri.

SOP yang belum ditetapkan tentu berimbas pada gerak langkah PSGA. Hal ini membuat PSGA lambandalam merespon kasus diskriminasi/kekerasan yang telah terjadi. Naila sendiri mengungkapkan beberapa motif yang kerap dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual, diantaranya ialah kasus yang dilakukan oleh dosen yang menggunakan relasi kuasa dalam melancarkan aksinya, seperti memberikan ancaman berupa nilai, jika tidak mau mengikuti kehendak yang diinginkan.Penggunaan relasi kuasa tersebut pada akhirnya membuat korban bungkam atas kejadian yang menimpanya.

Terdapat pula kasus yang dilakukan oleh pasangan korban, dimana korban diberikan minuman sehhingga korban tidak sadarkan diri. Perilaku kekerasan tersebut tidak hanya melalui fisik, namun bisa juga melalui verbal atau pesan seluler.

Jika SOP telah ditetapkan, maka langkah bijak yang diambil oleh PSGA ialah membentuk dewan etik. Dewan etik tersebut bertugas memanggil pelaku dan korban, namun tim mengaku akan berkomitmen dalam menjaga kerahasiaan korban. Hal ini tentu perlu dilakukan, agar privasi korban tetap terjaga.

Dalam menyuarakan eksistensinya, tim PSGA sendiri telah menggaet beberapa mahasiswa dan dosen yang aktif dari berbagai fakultas. Kemudian mahasiswalah yang apada akhirnya berperan  dalam mensosialisasikan pencegahan serta penanganan kasus kekerasan seksual tersebut.

Dengan dibentuknya tim PSGA diharapkan dapat mencegah serta menangani kasus diskriminasi atau kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus yang mana sebagian besar korbannya ialah perempuan.

“PSGA harus membumi, harus memberikan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat kampus. Menjadikan kampus tercinta bebas dari kekerasan seksual. Kita jihad bareng-bareng ya, memerangi kekerasan seksual,” pungkas Naila.

Penulis: Deda

Reporter: Maya, Zulva

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama