Usai satu semester perkuliahan berakhir, portal akademik kembali disodori kuesioner evaluasi dosen. Kuesioner yang tak bisa dilewati begitu saja. Sebuah rutinitas yang menurutku, buang-buang waktu.
Aku memilih kalimat tadi sebagai pembuka tulisan, bukan tanpa alasan. Hingga kini, menjelang semester akhir perkuliahan, kuesioner serupa sudah lebih dari empat kali aku isi dengan jawaban seada-adanya. Awalnya, aku percaya bahwa inilah ruang untuk berbicara jujur tentang pengalaman belajar di kelas.
Namun seiring waktu, muncul rasa ragu. Secara subjektif, sekali lagi, subjektif, aku merasa kuesioner ini nyaris tak memberi dampak apa pun. Tidak hanya bagiku sebagai mahasiswa, tetapi juga bagi perbaikan proses perkuliahan secara keseluruhan.
Anggaplah aku memilih "sangat tidak setuju" terhadap pernyataan "dosen bertanggungjawab pada kegiatan perkuliahan", hal tersebut karena dosen sering mangkir sebab fokusnya terbagi dengan tugas lainnya di departemen-departemen bawahan kampus.
Usai aku memilih "sangat tidak setuju" tadi, tidak serta merta membuat dosen tersebut terpukul dan berubah untuk lebih bertanggungjawab sebagai seorang pendidik di kesempatan berikutnya. Dia tetap saja sebagai dirinya yang mangkir, jarang masuk kelas, dan, jreng, nilai A di Kartu Hasil Studi (KHS)-Ku.
Aku tentu bersyukur atas nilai yang baik. Namun, jika orientasi perkuliahan hanya berhenti pada angka di KHS dan kelulusan tanpa mengulang, bukankah itu sedikit melenceng dari tujuan pendidikan tinggi sebagai ruang untuk mengasah nalar dan cara berpikir?
Oh iya, supaya tidak menyinggung terlalu banyak pihak, aku ingin mengklarifikasi. Dalam konteks tadi, beberapa dosen yang pernah mengampu mata kuliahku di kampus ini benar-benar mangkir dan hanya membagikan materi perkuliahan di grup WhatsApp mata kuliah, atau menyuruh kami meminjam buku bacaan di perpustakaan kampus. Maksudku, apa kami membayar mahal hanya untuk ini, pak, bu?
Setidaknya, jika bapak atau ibu dosen memiliki kesibukan lain di luar kelas, di mana pun dan dalam bidang apa pun, kami berharap peran sebagai pendidik tetap menjadi prioritas. Apalagi, teknologi kini sangat memungkinkan perkuliahan jarak jauh melalui Zoom atau Google Meet ketika kondisi tidak memungkinkan tatap muka.
Toh, di kampus yang sudah bertransformasi menjadi Siber ini, "Menyelenggarakan program pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis siber yang berjejaring, digital, dan virtual untuk menghasilkan sumber daya manusia dan lulusan yang kreatif dan profesional dengan pembelajaran berbasis multimedia digital." adalah misi poin kedua yang aku baca di website UIN SSC.
Baru di pernyataan kuesioner pertama saja aku skeptis, untuk apa kiranya kuesioner ini dibuat jika akhirnya tidak berdampak apa-apa? Jika dosen sering mengomeli mahasiswanya karena "masuk kuping kanan, keluar telinga kiri", lantas apa bedanya dengan kuesioner ini?
Masih banyak hal lain yang sebenarnya bisa dibahas: dosen yang terlalu banyak bercerita hingga materi tertinggal, dosen yang pengajarannya tak selaras dengan bahan ajar, kelas yang terasa mati, atau sikap otoriter yang menutup ruang dialog. Namun jika semua itu diurai, tulisan ini barangkali hanya akan menjadi daftar keluhan panjang.
Sudahlah, memang sepertinya kuesioner ini bukan benar-benar kuesioner. Mungkin ini sekadar ritual akhir semester yang boleh diisi sekenanya. Maaf jika selama ini banyak mahasiswa yang salah memaknai. Barangkali kamilah yang perlu meminta maaf karena salah menaruh ekspektasi.
Penulis: Fadhil Muhammad RF
Editor: Muhamad Hijar Ardiansah
