“Katakanlah yang benar, walaupun kebenaran itu pahit.” 

(HR. Ahmada At Tabrani, Ibnu Hibban dan Al Hakim dalam kitab Syarah Misykatul Mashobih)

Edisi kali ini, kami mengeluarkan liputan Merangkum Pemilihan SEMA dan DEMA, bisa baca di sini dan sini. Liputan kali ini, barangkali akan mengagetkan banyak pihak. Sebab, dalam sepanjang sejarah peradaban manusia hal-hal baru selalu mendapatkan respon yang luar biasa bisingnya. Bahkan tak sedikit yang beradu fisik sampai penghilangan nyawa, lebih-lebih perihal mengoreksi kekuasaan. 

Sejarah telah mengajarkan mengenai itu. Misalnya penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, disikapi dengan brutal oleh kaum Quraisy; penolakan warga atas laku jahat pejabat dan pemodal yang tanahnya akan dirampas, malah dibunuh: Salim Kancil, Poro Duka dan lainnya atau hal yang terbaru adalah terlibatnya pelajar dalam demonstrasi, banyak yang mencibirnya. Hal baru yang mengoreksi dan menggugat status quo, di setiap zamannya selalu memunculkan gejolak. Kami menyadari betul akan hal itu.

Dalam konteks kampus kita tercinta, jabatan-jabatan strategis di kampus, yang menguasai dari bendera mana adalah rahasia umum. Namun informasinya sayup-sayup, berbisik-bisik di warung-warung kopi, di pojok parkiran kampus atau di kamar kos-kosan. Maka, yang sudah menjadi rahasia umum itu, kami munculkan ke publik. Pemunculan siapa menguasai apa dari bendera apa ini lah, barangkali hal baru. 

Kami memercayai bahwa esensi dari demokrasi adalah pelibatan publik seluas-luasnya (partisipatif). Salah satu cara agar publik bisa terlibat, adalah dengan memunculkan isu ini ke publik. Agar publik bisa secara objektif mengoreksi, mengkritik, menawarkan dan berpartisipasi lebih jauh dalam kancah perpolitikan di kampus. 

Kita telah lama kehilangan otonomi: pendiktean di berbagai sisi oleh birokrasi Kampus dan Negara. Pada akhirnya, ruang untuk bereksperimen dalam mengelola, mengatur dan menciptakan tatanan yang ideal sesuai imajinasi kita sempit, terkadang malah buntu. Pendiktean itu diselundupkan diberbagai aturan, salah satunya Keputusan Dirjen Pendidikan Islam nomor 4961 tahun 2016 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dan turunannya.

Juga minimnya keterlibatan publik dalam percaturan perpolitikan di kampus diperparah oleh mandulnya organisasi ekstra lain. Sebagai oposisi, alih-alih lebih garang, suaranya semakin tahun semakin parau. Organisasi ekstra lain, sebagai organisasi gerakan mempunyai tanggung jawab moral dalam menyuntik gairah perpolitikan di kampus. Bisa dibayangkan, organisasi gerakan, yang berbusa-busa berbicara perihal perpolitikan saja melempem, bagaimana civitas akademis lain yang apatis?

Perpolitikan di kampus, sering kali direduksi hanya perihal perebutan kekuasaan. Padahal lebih luas dari itu: bagaimana mengawal kebijakan kampus yang tidak pro-mahasiswa? Misalnya, di tengah masa krisis karena pandemi, kampus dan Negara tidak punya empati dengan terus memalak UKT; bagaimana pemenuhan hak mahasiswa, disaat infrastruktur perkuliahan online banyak yang belum dipenuhi (kuota, akses refrensi online: jurnal, buku dan lain sebagainya); bagaimana transparansi UKT beserta subsidi dari negara? yang pengeluarannya sedikit karena serba online, tapi membayar UKT secara penuh; bagaimana hak-hak buruh di kampus? dan sederet masalah lainnya.

Implikasi dari direduksinya makna perpolitikan menyebabkan, bisingnya hanya saat pemilihan ketua-ketua belaka dan sebatas merebutkan kekuasaan. Pasca itu, kembali adem ayem. Situasi ini tidak asing dengan perpolitikan di negara kita. Elit-elit partai politik cum pemodal hanya memanfaatkan demokrasi (baca: pemungutan suara) untuk mendapatkan sekaligus melanggengkan kekuasaan. Selebihnya, disaat rakyat protes: mengoreksi, mengkritisi dan menawarkan solusi malah disemprot gas air mata, dibui bahkan sampai hilangnya nyawa. 

Maka jangan meniru laku biadab elit-elit Parpol di Indonesia. Mari bersama-sama terlibat dalam merebut otonomi: melepas pendiktean dari elit serta mementingkan golongannya belaka, sesering mungkin mendengarkan keresahan, sekaligus berpihak pada akar rumput: mahasiswa, buruh, OB, dosen kontrak atau non-PNS, satpam dan kaum yang terpinggirkan lainnya. Juga, jauhi konflik-konflik horizontal yang menguras waktu, pikiran dan tenaga. Singkatnya, apapun benderanya: pink, hijau, biru, merah, hitam atau lainnya; apapun ideologinya: kiri, kanan, tengah, atas atau bawah; apakah seorang wibu, pencinta drakor, penyuka tea jus atau nutrisari, penganut bubur diaduk atau tidak, pecinta sholawat, pendukung keras band-band indie, pengamat video 19 detik-an atau (si)apapun itu, harus mendapatkan akses yang sama untuk belajar di organisasi intra tanpa memandang dari bendera mana. Sebab, selain demokrasi mensyaratkan kita semua setara dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik. Juga, saat menjadi pejabat publik bukan lagi kita sebagai pink, kuning, hijau, merah atau lainnya. Melainkan mengabdi untuk kemaslahatan publik, bukan untuk bagi-bagi kekuasaan untuk golongannya sendiri. Selamat mengemban amanah, selamat bekerja!

Redaksi

4 Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Ditunggu fatsun buat memetakan dan nginvestigasi pejabat kampus dari mulai rektor,dekan dan wakil* nya berdasarkan bendera nya

    BalasHapus
  3. Kampus adalah miniatur negara..
    Jika kampus yg miniaturnya saja seperti ini, jangan tanyakan negaranya seperti apa..
    Jangan lupa tidur, untuk mengurangi maksiat ��

    BalasHapus
  4. Terkadang ingin berbicara di depan muka petinggi kampus "shu de fak dasar feodal"

    Wkwkkw

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama