(Doc. LPM FatsOeN)

Ruas jalan Cipto padat merayap. Sebuah angkot biru D3  menepi ke arah CSB. Dua orang wisudawan dengan baju toga berada di sana. Menundukkan kepala keluar angkot. Atributnya lengkap dengan topi dan selempang yang masih mereka jinjing, juga dengan tas punggung besar yang mereka pikul di pundak masing-masing. Di parkiran motor, beberapa wisudawan yang masih mengenakan baju hitam putih bergegas melangkah menuju parkiran 1A yang terletak di area belakang gedung CSB. Di parkiran belakang, dekat lift, dipadati dengan kumpulan manusia berseragam sama. Beberapa yang belum berganti pakaian, merangkap baju hitam putih mereka dengan baju toga. Kali ini parkiran berubah jadi fitting room dadakan.

Lift hanya mengantar mereka sampai lantai dua. Dilanjut dengan berjalan kaki menaiki empat kali putaran anak tangga. Pagi ini belum ada penjual bunga, parkiran CSB hanya dipadati wisudawan yang tergesa-gesa. Belum selesai, mereka harus berjalan lagi menuju tempat yang dimaksud, Ballroom Swissbel Hotel. Namun di parkiran 6A, terdapat mobil yang melintas, lalu berhenti dan membuka pintu. Seorang wisudawati yang sudah berbaju toga, dengan riasan dempul, face shild, dan sepatu berhak tinggi turun dari mobil dengan anggun tanpa perlu berlari-lari. Ia menyalimi orangtuanya, dengan lambaian tangan ia berjalan berjingkat menuju ballroom.

Wali wisudawan yang mengendarai kendaraan bermotor roda empat juga bukan tanpa kendala. Pukul delapan tepat, area parkir 6A sudah dipadati dengan mobil. Mereka harus memilih antara dua konsekuensi, berpacu dengan waktu dan mendapat tempat parkir, atau datang sedikit terlambat dan harus berputar arah ke parkiran bawah.

Dalin, selaku wali wisudawan bahkan mengungkapkan perjuangannya yang berangkat tepat pukul enam pagi hanya agar tidak terjebak macet dan mendapat tempat parkir. Ia pula menuturkan bahwa sesampainya di CSB, baru ada enam mobil yang terparkir di parkiran 6A. Ia senasib dengan wali wisudawan lainnya yang menggelar tikar sambil membawa beberapa bungkus makanan dan minuman selayaknya piknik. Bahkan beberapa dari mereka menidurkan bayi di sana, dengan alas kain batik dan selimut lembut, seorang mahluk kecil dikipas-kipas ibunya agar tidak merasa kepanasan. Mereka rela susah guna menunggu anak tercinta yang keluar dari ballroom dengan membawa gelar sarjana yang melekat di belakang namanya.

Namun Adi berpendapat lain, seorang wisudawan dari jurusan Pendidikan Agama Islam itu menyatakan bahwa ia tidak tega membiarkan orangtuanya menunggu lama selama  prosesi wisuda berlangsung. “Lagian juga orangtua kan gak boleh masuk ke Ballroom. Harus panas-panasan nunggu di luar. Jadi kasian, mending Saya berangkat duluan,” tuturnya. Ia memilih berangkat sendiri dari pagi, memacu motornya dengan membawa tas yang berisi baju toga.

Sependapat dengan Adi, Deni dari jurusan Tadris Matematika pula tidak mau merepotkan keluarganya karena di tempat dikhawatirkan akan terdapat banyak kendala. “Mereka gampang, bisa nyusul. Itu juga gak bawa keluarga besar, di sini penuh banget,” pungkasnya.

Bagi sebagian orang, wisuda bisa menjadi sebuah momentum berkumpul bersama keluarga besar, prosesi yang sakral, dan didatangi orang-orang terdekat. Namun di lain hal, pandangan sebagian orang terhadap wisuda pula berbeda, mereka berpendapat wisuda sebatas ceremonial kelulusan yang bisa dirasakan euforia setelahnya. Bagaimanapun pendapat yang berbeda, apapun kesulitan yang dirasa, segalanya luruh setelah rampung sudah menyandang gelar sarjana.

Penulis : Zulva Azhar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama