(Sumber Gambar : Freepik.com)

Saya bersekolah di salah satu pesantren di Jawa Timur. Kami mengadakan acara rutinan yang dinamakan PKA, Pekan Perkenalan Khutbatul-Arsy. Di acara itu, Pak Kyai ceramah tentang pondok. Di ujung bicaranya, Ia menyediakan ruang untuk kami bertanya. Seorang anak mengacungkan tangan, kakak kelas Saya, lalu panitia menyodorkan microphone dan Ia mulai bersuara.

"Ustad, kenapa motto pondok nomor satu keikhlasan? Bukan keadilan? Kenapa pula keadilan tidak dicantumkan?"

Beliau menghela nafas. Berkomat-kamit. Detak jantung Saya berdegup, takut Pak Kyai marah. Takut pertanyaan yang saat itu Kakak kelas Saya ajukan tidak sopan. Motto pondok sudah ada dari pertama Pondok dibangun. Pondok yang usianya lebih tua dari kemerdekaan Indonesia. Lalu dengan berani bocah puber belasan tahun ini seakan mengecam salah satu Pilar yang telah dibangun lama. 

Pak Kyai tersenyum, dengan lembut Ia berkata. 

"Kenapa? Kamu merasa tidak diadili? Bagian mana nak?"

Kami sontak diam. Lalu Ia menambahkan. 

"Bagaimanapun, seberapapun manusia berusaha adil. Keadilan hanya milik Allah, Maha Adil. Keadilan subjektif bagi manusia. Bisa saja adil di mata Saya, namun dalam perspektifmu, kamu merasa tidak diadili. Ya ndak?"

Serentak, kami mengangguk. Kami mengiyakan. 

"Kamu ikhlas? Tanyakan itu ke dirimu sendiri. Kita tidak bisa sepenuhnya adil di mata orang, tapi kita bisa sepenuhnya ikhlas pada diri sendiri" 

Kakak kelas Saya mengangguk, Ia tersenyum lebar. Kami bertepuk tangan. 

Saat itu, hingga sekarang. Saya menarik simpulan, bahwa pertanyaan memang seharusnya dijawab dengan penjelasan yang masuk akal, bukan dogma bahwa 'kamu bertanya ini, maka dosa' beliau menjawab dengan akal dingin. 

Kejadian kedua muncul ketika Saya duduk di bangku kuliah, Seorang teman Saya berambut gondrong, bersandal jepit dan kaus oblong dengan kepercayaan dirinya masuk ke kelas Tarbiyah dan mengikuti Mata kuliah Kritik Sastra. Setelah pemaparan selesai, Ia mengacungkan tangan dan bertanya. 

"Pak, Al Quran karya sastra. Berarti bisa dikritik?"

Dosen enam puluh tahunan itu menarik nafasnya. 

Panjang. 

Tarikan nafas itu berujung pada satu jawaban. 

"Bisa"

Wajah kami tambah serius. 

"Kritik kan mengupas, menelaah, mempelajari secara mendalam. Kamu juga bisa mengkritik Al Quran. Silakan gunakan step by step kritik sastra, pengulasan Intrinsik dan ekstrinsik. Namun karena Al Quran memakai bahasa Arab, maka pelajari dulu bahasa Arab. Karena terjemahan hanya mendekati. Kamu juga bisa mengkritik itu, apakah terjemahannya sepadan dengan makna aslinya? Kaji dengan semantik. Untuk Ekstrinsik. Silakan pelajari gaya hidup Rasul. Dan juga sejarah Islam secara menyeluruh. Bagaimana bangsa Quraisy, ke mana saja Rasul selama hidup, dan lain sebagainya. Ada tanggapan? Atau apa anda kurang puas dengan jawaban saya?" 

Teman Saya saat itu merasa puas. Pertanyaan kini rampung terjawab. Pun kami merasa senang, sosok seperti ini yang kami butuhkan. Guru yang menjawab tanya dengan logika, bukan dogma.

Penulis: Zulva bukan Zulfa

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama