Mungkin nama Asif asing di telinga orang-orang. Beliau hanyalah salah satu pengajar di pondok Saya dulu. Kala itu, di tahun 2016 bulan Ramadhan selepas salat subuh, kami selalu mengadakan kultum (yang sebetulnya lebih dari tujuh menit) rutinan. Ratusan manusia bermukena putih yang memenuhi Masjid Jami’ kebanyakan dalam posisi merunduk, bukan karena seperti padi semakin berisi makin merunduk, namun dikarenakan mengantuk.

Saya masih ingat baju putih beliau yang seakan bersinar memantulkan lampu yang menggantung tepat di atas mimbar. Ceramah dimulai dengan suara lembut yang menggema karena pengeras suara yang tersebar di tiap tembok.

“Saat di Al-Azhar dulu, saya ke Makkah dan bertemu teman lama di sana,”

Ceritanya dimulai dari bagian beliau bernostalgia. Pertemuan dengan kawan lamanya itu dipenuhi nostalgia-nostalgia lainnya.

“Setelah ngobrol tentang zaman dulu di pondok bagaimana, kawan Saya bertanya Saya kuliah di mana, Saya jawab, di Azhar. Ditanya lagi ambil jurusan apa, Saya jawab filsafat. Lalu spontan teman Saya nyeletuk ‘jangan, sesat’”

Ustad Asif terdiam sejenak. Di tengah lautan manusia yang manggut-manggut antara ngantuk tapi memaksakan diri untuk duduk. Saya sepenuhnya sadar membuka mata dan menyimak. Pembicaraan tambah asik setelah mendengar kata ‘sesat’.

“Akhirnya Saya kasih PR ke dia, untuk cari tau sesuatu, Akhi, apa Allah itu Al-awal? Dia jawab, ya tentu. Lalu Saya tanya, apakah Allah Khaliq(Maha Mencipta)? Dia jawab, Iya, buktinya ada mahluk yang diciptakan. Lalu, sebelum seluruh dunia ini ada, sebelum adanya mahluk di dunia ini, apakah Allah bisa dikatakan Khaliq? Seorang penulis yang belum pernah menulis, apakah tetap dikatakan penulis? Seorang pembicara, ketika belum bernah berbicara, apa kita akan mengakuinya sebagai pembicara?”

Ia menjeda kalimatnya. Memberikan waktu bagi kami untuk memutar otak. Mensinkronkan ajaran yang sudah lama dijejalkan dengan kemampuan berpikir kritis. Bahkan kala itu pula terbersit dalam benak Saya, ‘apa boleh, mempertanyakan hal ini?’

“Teman Saya kembali ke pernyataan-pernyataan seperti, wah, tidak boleh bertanya soal ketuhanan begini, otak manusia gak mampu, lebih baik ga usah difikirkan,”

“Memang jawabannya gimana Stadz?”

Seorang temanku yang duduk paling depan tidak sabar untuk menunggu jawaban.

“Waktu itu Saya jadikan itu PR ke dia. Beberapa minggu setelahnya qodarullah kita bertemu lagi. Rupanya dia menanyakan hal itu ke Masyayikh(bentuk jamak dari Syekh-syekh), tetap, jawaban mereka sama,”

“Memang jawaban sebenernya apa Stadz?”

Jamaah yang lain, yang masih bangun kembali mempertanyakan.

“Saya mengeluarkan belati yang saat itu Saya bawa. Saya pegang tangannya. Lalu Saya tanya dia, Akhi, kalau Saya tebas tangan kamu pakai ini kamu mau tidak? Dia tentunya jawab jangan. Saya tanya lagi, kan belum dibuktikan. Kata dia, tetap saja belati itu terlihat tajam,”

Sampai di kalimat itu kami mulai menyusun puzzle. Antara hal yang belum dilakukan, tapi sudah dicap tajam. Walau belati itu baru dilihat temannya pertama kali, namun sudah muncul spekulasi tajam, meski belum pernah dibuktikan di depan mata.

“Sifat belati ini tajam. Ketika menebas dan berdarah, itu pembuktiannya. Sifat Allah Khaliq, Mahluk adalah pembuktiannya.” Pungkasnya.

Lalu ingatan Saya kembali pada, penulis, pembicara yang belum pernah menulisa dan berbicara bagaimana? Pertanyaan ini belum sempat Saya lontarkan saat itu. Namun pencarian Saya berujung pada, penulis dan pembicara bukan termasuk sifat, melainkan profesi.

Penulis: Zulva 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama