Copyright Foto: Internet 


Ditengah masa tenang pemilu sebuah tayangan film "Dirty Vote" Berhasil mencuri perhatian. Film ini adalah panggilan bagi masyarakat Indonesia untuk membuka mata dan memahami realitas politik yang tidak selalu terlihat di permukaan. Dalam durasi hampir dua jam, tiga pakar hukum tata negara, yakni Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar, menggali berbagai dugaan kecurangan dan intrik politik yang mungkin terjadi dalam konteks Pemilu 2024.

Pertama-tama, film ini membahas tentang ambisi Pilpres satu putaran. Menurut Undang-Undang, paslon yang ingin memenangkan Pilpres harus memperoleh lebih dari 50%+1 suara dan menang di minimal 20 provinsi. 

"Dirty Vote" menyoroti sebaran suara di Pulau Jawa, Sumatra, dan Papua, dengan penekanan khusus pada Papua yang memiliki pengaruh signifikan dalam hasil Pemilu, sebab Papua baru dimekarkan pada tahun 2022 menjadi 6 Provinsi langsung bisa dianggap memilih pada tahun 2024 ini, padahal perbandingan dengan Provinsi Kalimantan Utara yang dimekarkan pada tahun 2013 tidak dianggap provinsi baru dan belum bisa memilih sampai 2019. Pengaruh Tito Karnavian, yang dianggap sebagai 'Orangnya Jokowi', di Papua menjadi sorotan utama, memunculkan dugaan kecurangan dan keberpihakan.

Kedua, film ini mengupas keberpihakan Presiden Jokowi dan menteri-menterinya dalam proses kampanye. Temuan mengenai kampanye terselubung dari sejumlah menteri dan wakil menteri, yang dianggap melanggar prinsip netralitas dan menggunakan fasilitas negara, menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas politik dalam negeri. 

Ketiga PJ Kepala Daerah, fokus pekerjaan menteri dalam negeri Tito Karnavian juga menjadi sorotan film. Penunjukan para PJ ini, tanpa melalui pemilihan umum, mengundang pertanyaan tentang netralitas mereka. Proses penunjukan yang dinilai maladministrasi dan keberpihakan terhadap paslon tertentu menggambarkan realitas politik yang seringkali memprihatinkan.

Selain itu, "Dirty Vote" juga mengungkapkan masalah dalam lembaga seperti Bawaslu dan KPU. Para ahli dalam film menyoroti proses seleksi komisioner Bawaslu, kegagalan Bawaslu dalam mengawasi Pemilu, serta pelanggaran etik dan ketidakpatuhan KPU terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap keselamatan dan keamanan Pemilu yang adil dan transparan.

Dengan menyajikan rangkuman singkat sejumlah temuan dalam film, seperti gabungan suara di Sumatera, kasus penyelewengan dana desa, pelanggaran etik ketua KPU, serta berbagai pelanggaran dan kontradiksi di Mahkamah Konstitusi, "Dirty Vote" memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang kompleksitas politik Indonesia.

Film ini juga menantang penontonnya untuk bertanya lebih dalam, menggali fakta, dan mengembangkan pemahaman yang lebih kritis tentang sistem politik yang mereka hadapi. Dengan demikian, "Dirty Vote" tidak hanya sekadar film, tetapi juga panggilan untuk perubahan dan keadilan dalam dunia politik Indonesia. Film ini diharapkan menjadi pemicu bagi masyarakat untuk terlibat lebih aktif dalam memperjuangkan demokrasi yang sehat dan transparan di tanah air menjelang pencoblosan 14 Februari nanti. 



Penulis Tina Lestari

1 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama