Sumber foto : Bhagavad Sambadha/Tirto

Belum juga air mata kering atas meninggalnya 3 demonstran. Bagus Hendra Saputra, pelajar 15 tahun meninggal di Jakarta dan dua lainnya di Kendari, Sulawesi Tenggara, Yusuf Kardawi dan Randi. Duka kita ditambah dengan kabar penangkapan aktivis, Dandhy Laksono pada 26 September malam hari, tepatnya sekitar pukul 11 malam. Dandhy ditangkap, karena menyebarkan konten tentang Papua di Sosmed Twitter. Kita semua tahu, bahwa kerja-kerja yang dilakukan Dandhy Laksono dijamin oleh konstitusi. Lebih-lebih, yang dibicarakan adalah perihal kemanusiaan, merawat demokrasi sekaligus agar reformasi tidak dikorupsi.

Selang beberapa jam, giliran Ananda Badudu, musisi Banda Neira diciduk aparat, karena mentransfer uang untuk membantu pengobatan kepada mahasiswa di berbagai kota, yang menjadi korban represif aparat.  Dandhy sudah keluar dari Polda Metro Jaya, tapi statusnya masih tersangka. Begitu pula dengan Ananda Babudu, statusnya masih sebagai saksi. Dengan masih melakatnya status itu, kemungkinan akan berlanjut sampai pada pemidanaan.

Belum lagi pelajar, mahasiswa jurnalis dan tim medis, yang mengalami represif aparat. Jumlahnya sampai ratusan. Beberapa mahasiswa, juga masih hilang pasca demonstrasi di Jakarta 23-25 September. Kabar dari YLBHI, ada 93 mahasiswa, warga dan pelajar yang masih hilang.

Pasca itu semua, giliran kawan-kawan mahasiswa yang di Makassar, yang mengalami kebrutalan aparat pada 28 September 2019. Dua orang, Dicky Wahyudi, Mahasiswa Universitas Bosowa Makassar dan Irfan, seorang driver ojek online ditabrak Barracuda, kendaraan taktis aparat kepolisian.

Rentetan kejadian yang dialami oleh aktivis beberapa hari kebelakang, sangat menggores nurani. Orang-orang yang sedang memperjuangkan Indonesia, agar menjadi lebih baik, agar tak dikuasai segelintir elit beserta oligarkinya. Negara, melalui aparatusnya menyikapi dengan biadab! Yakni diganjar dengan peluru, pukulan, injakan, penangkapan, penculikan dan penabrkan pada demonstran.

Tragedi yang menimpa aktivis secara sadis dan bengis adalah sikap rezim hari ini lebih memilih penanganan yang represif, brutal dan aragon, daripada humanis dan persuasif.  Tentu saja, hal seperti ini adalah watak otoritarian, watak rezim fasis. Yang tujuan utamanya adalah menciptakan ketakutan, agar suara kritis lekas bungkam.

Kami, sebagai individu yang merdeka, yang tak bersepakat terhadap kekerasan, penangkapan bahkan pembunuhan atas nama pencitraan, melanggengkan pengkhianatan pada korupsi, berpaling pada keadilan dan menjauh dari keinginan rakyat. Sudah sepatutnya melawan, mengecam dan mengutuk atas tindakan nir-kemanusiaan!

Bertambahnya masalah ini, kami masih merawat apa yang kami perjuangkan dalam dua pekan, yakni menuntut:

1. Membatalkan dan menolak regulasi ngawur

Menjelang berakhirnya masa jabatan. DPR RI mengebut pembahasan sekaligus pengesahana perihal RUU, yang tidak memihak hajat rakyat. Kami menuntut untuk membatalkan UU KPK, yang menguntungkan koruptor dan kroni-kroninya; RUU SDA, yang hanya menguntungkan investor; dan UU MD3, yang fasis dan diskriminatif.

Menolak RKHUP yang akan menjebloskan kita semua ke penjara; menolak RUU Pertanahan, yang menindas rakyat, terutama petani dan nelayan; menolak RUU Minerba, yang akan memperpanjang kerusakan lingkungan dan membunuh masa depan; menolak RUU Ketenagakerjaan, yang akan memperpanjang perbudakan; dan menolak RUU Pemasyarakatan.

Juga segara mengesahkan RUU PKS, yang menjamin perempuan dari kekerasan seksual; RUU Pekerja Rumah Tangga, yang menjamin PRT lebih sejahtera; RUU Perlindungan Data Pribadi, yang melindungi data pribadi; RUU Masyarakat Adat, yang menjamin otonomi masyarakat adat dan terakhir, terbitkan Perppu untuk menyelamatkan KPK!

Tidak hanya perihal regulasi, kami juga menuntut apa yang dijamin oleh demokrasi, yakni:

2.  Hentikan aksi militerisme di Papua dan daerah lain, dan bebaskan tahanan politik Papua segera!

Pasca rasisme terjadi di Surabaya, Malang dan Surabaya. Alih-alih menangkap dan mengadili aparat yang melakukan rasisme. Pemerintah malah mendatangkan ribuan aparat ke Papua. Pendudukan aparat di Papua membuat warga Papua ketakutan, trauma berkepanjangan dan aktivitas harian terhalang, sebab penuh dengan pengintaian.

Bukan hanya ruang gerak warga Papua dipersempit. Juga, demonstrasi di Papua disikapi brutal. Yang terbaru, pada 23 September 2019. Saat siswa Papua di Wamena melakukan demonstrasi atas rasisme yang dilakukan guru, sebanyak 26 meninggal dunia dan puluhan lainnya, luka-luka.

Juga, beberapa pendudukan militerisme. Entah di Urut Sewu, Kebumen; Pasuruan, Jawa Timur dan lain sebagainya.

3. Bebaskan aktivis pro-demokrasi.

Dandhy Laksono dan Ananda Badudu adalah segelintir aktivis, yang dikriminalisasi atas nama menebar ketakutan. Ada juga yang lain, misalnya Veronica Koman dan Surya Anta yang lantang menyuarakan, bagaimana Papua ditindas dari berbagai sisi, juga dikriminalisasi.

Juga, bebaskan aktivis, 24 mahasiswa dan 15 pelajar yang telah divonis bersalah, pada 23-25 September 2019 di Polda Metro Jaya. Sekaligus, hentikan kriminalisasi aktivis!

4. Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh korporasi, pidanakan korporasi pembakar hutan, dan cabut izinnya!

Pembakaran hutan, yang membuat warga Kalimantan dan Sumatera menderita adalah dampak dari pembiaran korporasi dalam mengeksploitasi lingkungan. Alih-alih menindak, pemerintah terus memberi karpet merah atas ekpsloitasi. Pemerintah lebih mementingkan investasi, ketimbang peduli terhadap warga negaranya sendiri.

5. Batalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR

Selain pelemahan KPK melalui UU-KPK yang baru. DPR juga melakukan pelemahan melalui mekanisme dan capim-capim yang terpilih sarat dengan masalah.

Maka, sudah sepatutnya untuk membatalkan pimpinan KPK terpilih!

6. Hentikan represifitas aparat terhadap massa aksi

Sejak 23 sampai 30 September aksi di berbagai kota, aparat selalu menyikapi demonstran dengan brutal. Tak hanya Jakarta, di banyak kota pun sama.

Aparat, tak pernah mempunyai komitmen, bagaimana seharusnya demonstran diperlakukan layaknya warga negara! Sebab, ketika ada demonstan tertangkap, selalu diserbu: ditendang, dipukul, dipentung dan perlakuan biadab lainnya.

7. Tuntaskan pelanggaran HAM berat dan kekerasan yang telah dilakukan negara melalui aparatusnya, serta tangkap dan adili yang terlibat di dalamnya. Termasuk orang-orang yang berada di lingkaran Istana.

Kekerasan-kerasan yang terjadi hari ini, entah di Papua, Jakarta, Bandung, Makassar, Kendari dan berbagai kota adalah dampak dari lemahnya penegakan hukum.

Meski secara legal, negara belum memberikan impunitas. Tapi secara tidak langsung, impunitas telah dan sedang terjadi. Dengan bukti, pelaku yang terduga melanggar HAM masih berkuasa di lingkaran istana.

Negara, alih-alih mengadili itu semua. Malah memberikan tempat kepada mereka yang melanggar HAM. Bahkan, tak ada tanda-tanda signifikan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM.

Maka, dengan gegabah aparat sampai hari ini terus berlaku brutal, entah saat mengawal demonstrasi hari ini atau dalam mengawal penggusuran. Sebab penegakan hukum yang lemah.

Dari tujuh tuntutan itu, tak ada skala prioritas. Semua tuntutan harus dikabulkan. Tujuh tuntutan itulah yang akan membawa Indonesia lebih baik!

Kami bersama #ReformasidiKorupsi akan terus berjuang. Mari terlibat untuk menjadikan Indonesia, rumah yang ramah bagi kaum papa; rumah yang sejuk bagi kita semua. Agar Indonesia menjadi tempat yang sejahtera, menjunjung tinggi demokrasi sekaligus keadilan.

Dukung dan bersama gerakan #ReformasidiKorupsi!

Cirebon, 30 September 2019

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama