Foto : LPM FatsOeN/Fathnur Rohman

“Jadi aktivis tapi anarkis, melanggar hukum namanya,” kata mahasiswa berbaju batik yang menyaksikan para demonstran itu seraya menghirup es teh di warung kopi pinggir jalan.

Rupanya, sinar matahari yang menimpa ubun-ubun para demonstran tidak membuat aksinya tersebut gusur, bahkan itu seoleh menjadi energi bahan bakar semangat atas bentuk kepedulian mereka, barangkali. Aksi mereka membuat jalanan macet.

Para mahasiswa yang berlalu lalang sekedar memasang wajah polos. Barangkali,mereka baru pertama kali melihat para demontsran—aktivis mahasiswa—berdialek dengan pengeras suara di tangannya. Banyak yang mengabaikan tapi ada juga yang sedikit simpatik meski hanya memotretnya menggunakan handphone untuk dokumentasi pribadi.

“Barangkali itu satu-satunya cara mereka menyampaikan kepedulian, rasa keadilaan, untuk kepentingan kampus kita,” sanggah mahasiswa berkemeja yang duduk di depan mahasiswa berbatik itu.

Bukan hanya di depan gerbang yang terjadi kemacetan, juga di dalam gerbang. Pintu gerbang disegel hingga membuat para mahasiswa yang ingin keluar tidak diberi kesempatan. Salah seorang demonstran melemparkan batu kekaca mobil bis kampus itu.

“Sekarang bukan zaman tahun sembilan delapan. Mereka berdemo tapi suara mereka bisa merubah keadaan. Nah ini, hanya merusak fasilitas, suara mereka ingin didengar yang memembuat decak kagum dan tepuk tangan yang melihatnya. Tapi setelah semuanya selesai, mereka pasti lupa apa yang telah diucapkan mereka itu,” ujar mahasiswa baju berbatik itu bernada sinis.

Sepertinya aksi para demonstran itu tidak ada yang meredam. Para satpam hanya terdiam. Diamnya itu seolah memberi dukungan—atau tidak berani menghentikannya karena jumlah mereka kalah banyak. Beberapa polisi juga terlihat sudah berjaga-jaga tapi hanya berdiam dan melihat aksi mereka seperti melihat balita marah berteriak meminta mainan baru.

“Kamu jangan memandang dari sisi yang berbeda saja,” sahut mahasiswa berkemeja lagi. “Kalau mereka tidak melakukan demo-demo tersebut, sama saja menyilakan ‘para tikus’ di kantor menjilat uang sesukanya.”

Mang, si empunya warung kopi itu, hanya menyimak aksi para demonstran tersebut sambil menguncer secangkir es kopi di warung kopinya yang dipesan mahasiswa berkemeja itu—tidak jauh dari tempat kejadian. Teriakan-teriakan para demonstran terdengar keras mengalahkan riuk-pikuk kendaraan.

Bukan hanya menyalurkan melalui suaranya yang melengking itu, tapi juga beberapa tulisan spanduk menggunakan pilok hitam, terlebih lagi, mereka menyoret-nyoret di dinding pagar gerbang yang baru dicat kemarin. Di antaranya tertulis; “Kembalikan Hak-hak Mahasiswa”, “Dasar Pejabat Rektor Korupsi Sialan”, juga tulisan yang membuat menyita perhatian “—Kampus Ini—DISEGEL TUHAN!”

“Saya lebih menyukai para penulis dari pada para demonstran. Para demonstran hanya berteriak-teriak tak jelas. Sedang para penulis, mereka berdomo dengan menggunakan tulisan yang bisa dibaca dan disaksikan di mana pun,” kritik mahasiswa berbatik lagi.

Di depan gerbang, asap-asap terus mengepul dari ban-ban yang dibakar. Asap hitam itu terlihat mengerikan layaknya asap api neraka yang dibayangkan oleh para pendosa; ganas menyebar seantero atmosfer kampus dan jalanan di sekitarnya. Dan, seolah-olah memberi peringatan bahwa ‘manusia yang berpenyakit paru-paru dilarang lewat’ di sekitar para demonstran dalam aksi yang katanya dalam bentuk kepedulian hak-haknya tersebut.

“Untuk melihat dunia bukan hanya membaca dan menulis, mereka memiliki jiwa sosial yang baik yang bisa terjun ke lapangan, bukan hanya duduk-duduk membaca buku saja kerjaannya. Memang kamu itu penulis?” sanggah mahasiswa berkemeja itu yang pemikirannya sangat bertolak dengan mahasiswa berbaju batik di hadapannya.

“Bukan! Terus kenapa kamu juga tidak ikut terjun bersama mereka. Kamu aktivis?”

“Bukan!”

“Apa yang telah mereka lakukan itu hanya membuat masalah baru, bukan menyelesaikan masalah. Apa yang mereka lakukan itu seperti anjing yang tak kebagian makanan lalu menggonggong, nanti juga giliran dilempar tulang mereka diam. Lagian, toh di negeri kita kan sudah ada penegak hukum, biar saja mereka yang bekerja.”

Bukan hanya para demonstran yang memanas, kedua mahasiswa berbeda prosfektif ini pun beradu pemikirannya. Sampai kapan pun, sepertinya perdebatan kedua mahasiswa ini yang belum jelas latarbelakangnya—hingga bisa bicara seperti itu—tak akan ada buntunya.

Si Mang, menyimak apa yang mereka obrolkan. Bagi orang awam sepertiMang, yang hanya sebagai pedagang kopi di pinggir jalan itu. Tentu pemandangan seperti itu sungguh membosankan. Rupanya, orang-orang yang hidup di kota jauh lebih keras dari pada mereka di kampung. Di kota, bukan hanya raganya yang bergerak, pemikiran idealis yang tidak dipahamidan dimengerti oleh si Mang juga lebih keras di keluarkan. Tapi, mau tidak mau,pedagang kopiitu harus melihat arus yang bergelombang dan berusahatanpa harus mengikutinya.
Es kopi yang dipesan mahasiswa berkemeja ituiataruh di mejanya, lalu mencoba masuk dalam pembicaraan mereka, “di kampung saya, kalau ada pertikaian atau masalah apa pun, mereka datang dengan baik-baik, membicarkannya dengan kepala dingin sambil menghirup kopi di warung kopi saya dulu sebelum saya pindah ke kota ini. Mereka membicarakan langkah-langkah dan risiko-risikonya. Beres tanpa anarkis dan tulis menulis.”

“Ini lagi si Mang ikut campur saja kritik sana kritik sini tanpa ingin campur tangan,” mahasiswa berkemeja kembali bersuara. “Kalau di kampung itu bisa menyelesaikan masalah kenapa si Mang susah-susah cari makan di kota orang ini.Bukannya di kampung juga si Mang bisa hidup, makan dan menjadi wadah mereka yang disebut si Mang tadi. Berarti mereka sudah tidak bisa lagi menyelesaikan masalah sambil ngopi di warung kopinya si Mang dong.”

“Nah kalian berdua, aktivis bukan, penulis pun bukan, juga hanya bisa kritik sana kritik sini, suara kalian juga tak jauh berbeda seperti mereka, tak mengubah apapun!” kata si Mang sambil bergegas kembali ke dalam warung kopinya.

Tak lama seorang perempuan berjilbab datang memesan es teh kepada si Mang seraya berkata, “Mang, ada apa sih ribut-ribut?”

“Biasa, pertunjukan drama di pinggir jalan!”

Penulis : Ari Irawan

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama