Banyak orang yang menjalin cinta, tapi tak mengerti apa itu cinta. Katanya, cinta itu bisa buat orang buta, bahkan sampai gak pakai logika. Tapi apalah kata orang, aku tak peduli. Setahuku, cinta itu tidak memerlukan ribuan untaian kata yang mengalun indah. Ya, untuk apa kata-kata, jika perilaku tidak menunjukkan bahwa aku jatuh cinta.

Malam ini, rasa rindu membangunkan tidurku yang lelap. Rasa malas begitu pekat menyelimutiku, tapi rindu itu terus saja mengusik nadiku. Ah, rindu benar-benar menyiksaku. Haruskah aku terbangun tengah malam seperti ini hanya untuk merindukannya? Dia, ya dia, lelaki yang selalu saja hadir di dalam pikiranku.

“Astaghfirullah ya Allah, jam berapa ini?” desahku.

Suara detakan jam dinding di luar kamar ini terdengar begitu jelas setiap detiknya. Lampu-lampu rumah pun masih padam. Ku lihat langit di celah kaca kamarku; masih gulita. Terduduk aku termenung di tempat tidurku. Apa yang terjadi dengan hati ini? Ah, begitu lemah hati ini jika sudah disandingkan dengan problematika percintaan.

Ku coba untuk menenangkan diri. Kupejamkan mata secara perlahan. Mencoba bernapas dengan irama yang teratur. Menyenangkan. Angin berhembus begitu pelan, menyentuh kulitku dengan genitnya. Aku tersenyum. Udara malam begitu hangat menyapaku.
***
“Tuuuut,” ku beranikan diri untuk menghubunginya.

“Assalammu’alaikum,” suara di sebrang jalan sana terdengar begitu jelas.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku gugup. Spontan saja telepon genggam ini ku berikan kepada Putra selaku pimpinan latihan. Aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi, yang ku tahu jantungku masih berdegup kencang. Ini kali pertamanya aku menghubunginya. Meskipun karena alasan latihan dan dia ‘aktor utamanya’, tapi entah mengapa, jantung ini berdegup tak karuan.

“Ini na,” suara Putra tiba-tiba meredakan detakan jantungku.

“Ah, udah tah?” tanyaku.

“Iya udah,” jawabnya singkat.

“Gimana katanya? Rizal mau ke sini?”

“Iya, katanya lagi di jalan,”

Sungguh, aku tak dapat menutupi rasa bahagia ini. Rasa, yang entah mengapa begitu menggebu-gebu, terasa bergejolak dan ah, sungguh tak karuan. Sepertinya pengadaan drama kelas ini akan memperpanjang waktu kebersamaanku dengannya. Ya meskipun kami tak pernah saling bicara, tapi aku bahagia. Bahagia melihatnya baik-baik saja.

“Hai zal!” suara Raka menyita penuh perhatianku. Spontan saja aku menengok ke arahnya. Tak kuasa dan tak bisa ditahan lagi, bibir ini terus saja menyunggingkan senyumnya. Aku bahagia melihatnya datang ke tempat ini. Lihatlah, ia berjalan ke arahku dengan membalas senyumanku. Dan aku? Entah mengapa kepala ini tiba-tiba mengangguk. Sorot mataku terfokus pada matanya. Ia terdiam sebentar dan membalas anggukanku dengan senyuman manisnya yang begitu meneduhkan hati. Ya, hanya dengan sebuah anggukan, kami pun sama-sama mengerti apa artinya itu. Mungkin orang lain tak tahu karena tak ada yang memperhatikan tingkah kami. Tapi inilah kenyataannya, bahwa kami bicara melalui isyarat.

“Ayo kita mulai latihannya!” suara Putra begitu jelas dan lantang. Ia memang selalu semangat setiap kali memimpin latihan. Tak salah kami memilih putra sebagai pimpinan latihan.
***
Detik berlalu begitu cepat. Suara adzan menghentikan latihan kami di sore hari ini; sudah waktunya istirahat. Ya, semua kesibukan terhenti begitu saja. Kini semua orang mengganti kesibukannya masing-masing. Ada yang langsung menyambar tasnya dan pergi ke Masjid, ada yang mendekati warung makan terdekat, ada pula yang hanya diam di tempat semula.

Rizal sudah menghilang. Ia lebih memilih untuk pergi ke Masjid. Aku hanya duduk di atas tembok yang sengaja dibangun untuk dijadikan tempat duduk ini. Sambil senderan aku memulai kebiasaanku; melamun.

Sekitar sepuluh menit sudah waktu istirahat ini berlalu. Rizal pun sudah kembali di tempat latihan. Ya, aku melihatnya datang dari gerbang. Dan lagi, senyum tersungging di bibirku saat melihatnya kembali.

Aku memperhatikannya dari sini, dari kejauhan. Ia datang dan meletakkan tasnya di tempat semula. Kemudian ia memulai percakapan bersama Raka. Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti mereka terlihat asyik dengan percakapan itu. Namun percakapan mereka tidak berlangsung lama. Ku lihat Raka pergi meninggalan Rizal. Sambil melambaikan tangan, ia pun melangkah menuju arah Masjid.

Tak lama dari kepergian Raka, Rizal menoleh ke arahku. Ah, ia baru sadar bahwa aku memperhatikannya sedari tadi. Sungguh, aku salah tingkah saat itu. Ya, walaupun jarak kami jauh, tapi tetap saja aku salah tingkah saat ia menoleh ke arahku.
Ia tersenyum. Kemudian ia melangkahkan kakinya. Entah ke mana ia akan pergi sekarang. Aku tetap di tempat. Mataku sudah tak lagi memperhatikannya. Aku malu jika ketahuan terus memperhatikannya dari sini.

Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang duduk tak jauh di tempat aku terdiam. Langsung saja kepala ini menoleh ke arahnya. “Rizal?” jerit hatiku kegirangan. Dia benar-benar Rizal. Ia duduk sekitar setengah meter dari tempat dudukku. Ah, begitu bahagianya mengetahui ia berada di sampingku seperti ini.

Orang-orang mulai berdatangan kembali. Tapi kami, kami hanya diam di tempat ini. Tanpa suara, kami menikmati setiap udara yang berhembus. Tanpa bicara, aku bisa merasakan bahwa ia pun bahagia berada di tempat ini.

“Oh Tuhan, aku bahagia berada di dekatnya,” batinku, “biarkan kami menikmati rasa ini dalam diam. Dengan cara seperti ini pun aku sudah bahagia Tuhan,”

Waktu latihanku sebagai seorang pemusik sudah selesai. Begitupun dengan Rizal selaku aktor utama. Kami hanya ‘menonton’ teman-teman yang lain latihan dari sini. Jarang sekali kami bisa duduk berdua lama-lama seperti ini. Sungguh, hatiku bahagia.

Matahari mulai bergeser dari tempat asalnya. Sekarang cahayanya mulai menyorotiku melalui celah kecil yang terbentuk dari lubang genting bangunan ini. Aku mulai kepanasan.

“Ya Allah panas. Tapi gak mau pergi dari tempat ini,” keluhku dalam hati. Aku bertahan dari semua rasa panas ini. Aku bertahan, karena ingin di sampingnya hingga latihan ini harus usai.

Keringat pun mulai bercucuran dari kulitku. Memang, sorotan cahayanya tak seberapa mengenai tubuhku. Tapi panasnya begitu menyengat. Ada teriakan-teriakan marah dalam jiwaku; aku kepanasan.

Namun itu tak berlangsung lama. Sekarang aku bisa merasakan kesejukan kembali. Sejuk? Ya, ini memang terasa aneh. Tapi itulah kenyataannya. Ku lirikkan mataku ke arah sang mentari. Ah, pantas saja sejuk. Dia sengaja menengadahkan tangannya ke arah cahaya yang menyorotiku sedari tadi.

“Oh Tuhan, dia benar-benar pengertian. Terima kasih ya Allah,” ucap syukurku dalam hati.

Dia, sosok lelaki yang penuh pengertian. Bahkan tanpa diminta pun ia bisa mengerti apa yang aku butuhkan saat ini. Ah, hatiku penuh bunga-bunga. Rasa sayangku padanya semakin bertambah besar.
***
Tiba-tiba telepon genggamku berdering begitu keras, membuyarkan lamunanku yang menyenangkan ini. Dengan dahi yang berkerut, ku paksakan tangan untuk meraba-raba tempat tidurku. “Aha! Akhirnya ku dapati juga telepon genggam itu”.

“Aih, ternyata suara alarm,” ujarku pada diri sendiri, “alarm?” ucapku sekali lagi. Ku perhatikan baik-baik layar kecil telepon genggam yang sudah mulai ‘tertidur’ kembali. Ku nyalakan telepon genggam itu dan mengecek kembali alarm yang tadi berbunyi.

“Ulang tahun Rizal?” ucapku setengah kaget, “untuk itukah Engkau membangunkan tidurku Tuhan?”. Langsung saja kaki ini bergerak menuju kamar mandi yang letaknya tidak begitu jauh dari kamarku. Entah mengapa hati ini begitu ringan dan bahagia malam ini. Bayang-bayang lelaki itu terus saja melayang-layang di dalam proyeksi otakku.

Air yang mengalir di atas kulit ini terasa begitu dingin. Mengalir pelan seiring dengan gerakan tanganku. Mengalir, membasuh wajahku yang kering tanpa polesan bedak, membasuh tanganku yang juga kering tanpa sentuhan lotion, menyentuh sela-sela kulit kepalaku yang masih ditumbuhi rambut, dan terakhir, membasuh kakiku yang sama-sama kering tanpa sentuhan lotion.

Di hari yang masih gulita aku mengaduh; mengganti setiap tatanan rindu yang menggebu-gebu menjadi tatanan doa yang berjuntaian begitu indah. Malam ini rasa rindu itu datang dengan mengetuk pintu hati. Ah ya, sudah lama sekali aku tak berjumpa dengannya. Namun biarlah, biarkan Tuhan yang tahu aku tengah merindunya.

“Allah Tuhanku, malam ini, di sini, aku ingin mengadu padaMu. Di hari kelahirannya saat ini, rasa
rindu itu datang membangunkan tidurku. Tak apalah bagiku, karenanya aku bisa terbangun dan mendoakannya di sini. Tuhan, pintaku hanya satu, cintailah ia selalu dengan cintaMu yang begitu agung, agar setiap hembusan napasnya hanya bertasbihkan namaMu. Tuhanku yang Maha Bijaksana, lindungilah ia selalu di sana. Tegurlah ia dengan teguranMu yang lembut jika ia berbuat salah. Ampuni segala dosanya. Aku menyayanginya, menyayanginya karenaMu ya Allah, Engkau yang telah menumbuhkan rasa ini di dalam dadaku. Semoga Engkau memberikan keberkahan atas umurnya saat ini. Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin,” ucap doaku sepanjang malam ini.


Penulis : Tira Nazwa Aliyyah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama