(Sumber Gambar: Nickelodeon)

Dewasa ini beredar “Bawang banget” ungkapan itu lanjutan dari “Siapa yang naro bawang di sini?” atau adegan Squidward yang berkaca-kaca karena bawang yang perih.

Sujiwo Tejo pernah berkata bahwa sastra yang baik ialah yang cocok pada zamannya. Tepat sekali dengan diksi perbawangan yang diungkapkan Raihan dalam puisinya yang berjudul “Bawang Pulangku”. Kali ini saya ingin mengupas puisinya, bukan mengupas bawang.

Tema yang diambil Raihan cukup klise tapi bisa dibilang klasik, tentang ibu. Tema yang diutarakan berulang-ulang dengan pembawaan bahasa yang tentunya beragam di sepanjang jaman.Cinta, entah cinta pada orang tua, pada lawan jenis, cinta pada Negara. Puisi biasanya bertemakan itu. Namun dalam tema klasik, ada diksi kekinian yaitu ‘bawang'. 

Kecil dulu, Ia selalu berseru sebelum adzan maghrib berkumandang.

Puisi ini bermula dari seorang yang mengingat masa kecilnya. 'Ia' merupakan kata ganti orang ketiga yang bermakna Ibunya. Ibunya menunggu, tidak dengan marah gertakan, hal ini dikuatkan dari penggunaan kalimat 'tak seperti orang yang menunggu di pintu dengan gagang sapu di tangan' 

"Nak, pulang," Tuturnya. "Mandi dan salat kegiatan selanjutnya"

Ibunya selalu berkata lembut dan mengajak untuk beribadah tepat waktu. 

Anak di luar rumah tertawa, "Ibu jadi imam ya, besok kau yang jadi imam"

'Anak di luar rumah' diartikan sebagai dirinya sendiri, yang tidak keberatan akan ajakan ibunya. Puisinya kembali pada masa sekarang, pada 'Aku' yang sedang menatap ke luar jendela. Aku membatin pada dirinya, menanyakan 'entah siapa imam itu' . Tokoh aku kembali pada lamunannya, kala ia selesai salat dan mencium tangan ibunya. 

Ia mengiris bawang dengan perkataannya.

'Bawang' dalam kalimat ini diartikan bukan betul-betul rempah yang digunakan untuk memasak, namun bawang dalam artian kala seseorang mengiris bawang, maka matanya akan berair, bahkan bukan hanya matanya sendiri, oranglain pula akan ikut menangis. Kesedihan nampak perih bukan hanya untuk diri sendiri, kesedihan pula dapat menjalar dan dibagi. 

Puisi dilanjut dengan percakapan antara peran 'Aku' dan ibunya. Kalimat terakhir ditutup dengan kutipan dari sang Ibu, "Jangan melihat tanganku yang mengiris bawang" hal itu merujuk pada konteks bawang yang dari awal disebut-sebut, bahwa ketika seorang mengiris bawang dan oranglain menyaksikan, yang menyaksikan akan berair mata pula. 

Ibu meminta untuk tidak ada yang melihat tangannya ketika mengiris bawang, ia ingin memikul kesedihannya sendiri, agar cukup matanya yang berair, bukan mata anaknya.

Penulis: Zulva


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama