Desa Gerabah Sitiwinangun: Manifestasi Seni Rupa Lokal Selama Ratusan Tahun

Foto: Dokumentasi Penulis 

Hiasan dan ornamen yang ada di Keraton, kendi-kendi yang ada di rumah lawas, serta piring dan gelas yang ada di rumahmu, mungkin salah satunya terbuat dari tanah liat. Perkenalkan sebuah desa kecil di Cirebon bernama Sitiwinangun, atau biasa dijuluki "Kampung Gerabah".

Sejak abad ke 12, praktik senirupa dari tanah liat sudah terjadi di Desa ini. Para pengrajin menyulap gerabah menjadi gelas cantik, patung keagamaan, arsitektur bangunan, dan masih banyak lagi. 

Penulis bertemu Wastani (58), seorang dalang dan tokoh lokal yang aktif menyuarakan kearifan lokal ini ke luar desa. Kami berbincang di Rumah Getak, istilah lokal yang merujuk ke pendopo, tempat publik yang letaknya strategis dan menjadi tempat berkumpul dan berlangsung nya kegiatan kebudayaan. 

Wastani menceritakan bagaimana gerabah bagi masyarakat lokal bukan sekadar benda mati, melainkan simbol kehidupan, warisan, dan identitas selama berabad-abad. Sebagai dalang dan tokoh lokal berusia paruh baya, ia sudah merasakan langsung berbagai dinamika yang terjadi di desanya, termasuk kondisi yang sekarang dirinya pahami, bahwa gerabah sudah tak lagi relevan dengan zaman.

Padahal di tahun 1980-an Sitiwinangun berada di puncak kejayaan, dimana produksi selalu berjalan menghidupi desa. Daerah kota Cirebon seperti Panjunan dan Keraton sudah menjadi langganan sejak lama. Produk gerabahnya yang tahan cuaca dan punya ciri khas, menjadikan permintaan pasarnya tinggi hingga ke luar Cirebon. Hal ini bahkan menarik kedatangan wakil presiden kala itu, Adam Malik.


Namun kejayaan tak berlangsung lama, sebab perubahan zaman datang tanpa kompromi. Plastik diperkenalkan ke masyarakat luas, dan para pengrajin gerabah mulai merasakan dampaknya. Siapa yang tidak mau piring dan perabotan rumah mereka awet? Itulah yang ditawarkan oleh plastik.

Dibanding gerabah yang rawan pecah dan tidak efisien, bahan sintetis tahan banting dan murah ini langsung menjadi primadona di pasaran. Permintaan pasar akan gerabah jadi lesu dan anak mudanya beralih ke pekerjaan yang lebih menjanjikan, sedangkan jumlah pengrajin mulai menyusut termakan usia. 

Bagai terperosok lubang, dunia kerajinan di Kampung Gerabah terus mengalami kemunduran. Memasuki tahun 2000-an, berbagai upaya terus dilakukan agar desa bisa bertahan. Wastani menjadi salah satu orang yang menyuarakan kekhawatiran ini ke pemerintah daerah, organisasi kebudayaan dan komunitas bisnis. Ia dan kawan-kawan seperjuangannya meminta dukungan, agar kerajinan gerabah di Sitiwinangun yang diwariskan selama ratusan tahun tidak punah. 

Proses ini sangat panjang dan melelahkan bagi Wastani dan kawan-kawannya. Hingga akhirnya di Forum Bisnis Cirebon yang diketuai oleh Arief Natadiningrat (Sultan Sepuh ke-XIII Keraton Kasepuhan), mengintegrasikan permintaan gerabah ke desa Sitiwinangun. Keunikan kerajinan Gerabah pun berhasil diajukan menjadi warisan kebudayaan tak benda. 

Memasuki tahun 2024, akhirnya desa Sitiwinangun mendapat predikat Desa Wisata. Terlihat berbagai banyak cara dilakukan agar Gerabah tetap bertahan di zaman sekarang.

Sebuah Seni yang Sulit di Masa Modern 

Foto: Dokumentasi Penulis

Mengapa tampaknya sulit sekali untuk kembali berjaya seperti era 80-an, Wastani menjawab karena “Proses”.

Membuat gerabah tidak bisa disamakan dengan produksi pabrik. Di Sitiwinangun, proses dimulai dari pencarian dan pemilihan tanah liat terbaik—biasanya dari sawah-sawah tertentu yang telah dikenal kualitasnya sejak lama. Tanah liat kemudian direndam, diaduk, dan diulen secara manual hingga mencapai kekentalan yang ideal untuk dibentuk.

Membentuk gerabah bisa dilakukan dengan teknik putar, teknik tekan, atau teknik pilin, tergantung jenis benda yang akan dibuat. Tangan para pengrajin menjadi alat utama, mereka telah terbiasa membaca tekstur, kelembapan, hingga "karakter" tanah. 

Setelah dibentuk, gerabah dijemur perlahan, dan memakan waktu hingga beberapa hari tergantung cuaca. Proses ini penting untuk mencegah retakan saat memasuki tahap akhir, yaitu pembakaran.


Di tahap pembakaran inilah keahlian diuji. Api harus dikontrol dengan presisi: terlalu panas akan membuat gerabah pecah, terlalu dingin akan membuatnya rapuh. Di beberapa titik, pengrajin menggunakan tungku tradisional dari kayu bakar, memberikan hasil yang khas dalam warna dan kekuatan gerabah.

Tentu proses yang sangat panjang bukan? Rangkaian proses tadi hingga bisa terjual dan mendapat untung, memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. 

Berbanding terbalik dengan proses industrial modern, yang mana mesin selalu menyala hampir 24 jam non-stop, melakukan produksi, dan buruh bergantian mengawasi. Proses tersebut menjadikannya unggul telak secara kuantitas dan efisiensi, dibanding proses tradisional pengrajin gerabah Sitiwinangun.

Dampak dari perkembangan zaman ini, membuat produksi cenderung lebih cepat, murah, dan terjangkau. Sehingga membuat Kampung Gerabah sulit untuk mengimbangi keinginan pasar.

Nilai yang Tidak Selalu Diukur Uang

Foto: Dokumentasi Penulis

Gerabah Sitiwinangun memiliki nilai jual yang bervariasi tergantung bentuk, ukuran, dan fungsi. Gerabah yang digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti kendi, anglo, atau pot bunga biasanya memiliki harga terjangkau. Namun, karya-karya gerabah yang memiliki ukiran khas atau dibuat untuk keperluan artistik, dekoratif, bahkan spiritual, bisa memiliki nilai jual jauh lebih tinggi.

Yang menarik, tidak semua nilai gerabah dapat diukur secara materi. Beberapa jenis gerabah digunakan dalam upacara adat atau tradisi lokal. Misalnya, dalam budaya masyarakat pesisir, gerabah digunakan sebagai wadah sesajen atau media simbolik dalam ritual tertentu. Di sinilah kita melihat bahwa gerabah bukan sekadar benda pakai, tetapi juga medium ekspresi budaya dan spiritual.

Tak bisa dipungkiri, dibalik kecenderungan untuk hidup serba praktis, masih ada orang yang menghargai nilai sebuah seni. Mereka mengerti bahwa hasil terbaik lahir dari ketekunan. Sebab, setiap goresan, lekuk, dan cacat kecil adalah bagian dari proses itu sendiri. Sebuah filosofi hidup yang sederhana, namun bermakna.


Penulis: Farkhat Kamal

Editor: Fadhil Muhammad RF

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama