Redupnya Pendidikan Di Kampus Perjuangan

foto: Istimewa



Progresif betul kampus kita sekarang ini. Dengung “kampus unggul mendunia” berseliweran di berbagai ruang. Mulai dari layar videotron yang terpampang gagah di gerbang kampus utama, hingga sambutan hangat para birokrat dalam acara-acara seremonial. Frasa ini menjelma semacam mantra yang terus diulang, seolah dengan menyebutnya berkali-kali, kemajuan itu akan datang dengan sendirinya.


UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon sedang berubah. Setidaknya secara nama. Dari IAIN menjadi UIN, dari kampus lokal menjadi “siber”, dan dari institusi pendidikan menjadi merek dagang kebanggaan. Namun perubahan yang terlalu cepat dan terlalu visual sering kali membuat kita lupa menoleh ke dalam. Kita lupa memeriksa apakah perubahan itu sudah menyentuh cara berpikir dan karakter kampus sebagai lembaga pendidikan.


Sebab di balik semua simbol itu, ada hal yang mengendap dan justru membuat resah. Yakni karakter perjuangan yang pelan-pelan memudar. Perjuangan yang dulu hidup dalam ruang diskusi dan kerja-kerja pengorganisasian, kini terbungkus rapi oleh narasi-narasi sukses yang tidak berpijak pada realita. Mahasiswa hari ini tidak lagi dianggap subjek berpikir. Kita dibentuk untuk menjadi produk, bukan pribadi.


Dalam konteks ini, kita mengingat pada kritik Paulo Freire terhadap sistem pendidikan yang ia sebut sebagai banking education. Kita bisa baca pembahasannya dari karya bertajuk Seandainya Paulo Freire Hidup Kembali. Pendidikan ditransfer secara satu arah dari dosen ke mahasiswa, layaknya transaksi setor tabungan. Mahasiswa menjadi tempat menampung, bukan tempat berpikir. 


“Pendidikan yang menindas,” kata Freire, “adalah pendidikan yang membuat manusia diam, bukan tumbuh.” Sayangnya, sistem itu kini tumbuh subur di kampus yang katanya “unggul”.


Penulis merasa selama kuliah, kegiatan belajar mengajar berjalan sebagai kontrak berulang. Dosen menyampaikan materi, mahasiswa dibagi kelompok, lalu gantian menyampaikan ulang. Sesekali disuruh membuat jurnal sebagai formalitas “kerjasama akademik”. Hasilnya tak lebih dari deretan kutipan. Asal memenuhi jumlah halaman dan referensinya. Proses berpikir kini tak lagi penting, yang utama adalah tampilan rapi dan terlihat “ilmiah”.


Kebijakan kampus sibuk menata gedung dan meluncurkan fitur digital ini-itu. Tapi cara belajar masih berputar di tempat yang sama, bahkan terasa mundur. Mahasiswa dibuat sibuk oleh sistem, tapi dijauhkan dari pemahaman. Seolah infrastruktur ditumpuk untuk menutupi kerapuhan kultur.


Ironi itu makin kentara ketika kita menengok kehidupan organisasi mahasiswa. Ormawa kini menjelma biro kecil. Ada kabinet, ada menteri, ada program, tapi orientasinya kabur. Citra lebih dikejar daripada substansi. Agenda organisasi jadi rutinitas tanpa refleksi. Rapat, eksekusi, evaluasi. Aktivisme pun berhenti di meja kopi.


Padahal wadah itu digadang-gadang reproduksi kesadaran, membentuk watak, dan memupuk keberpihakan. Di sanalah kader mestinya perjuangan digembleng bukan untuk mengejar jabatan, tapi untuk memahami kenyataan dan berpikir kritis. Hari ini, sebagian besar semangat itu telah diganti. Organisasi jadi batu loncatan, kaderisasi menjelma seleksi karier. Banyak yang naik, tapi tak tahu apa yang dibawanya selain ambisi.


Lebih lanjut lagi, di kampus ini hanya segelintir akademisi yang masih bertahan dengan idealisme. Mereka layaknya anomali sekaligus harapan. Sebab idealisme hari ini dianggap sebagai romantisme usang. Kita masih punya ruang untuk menanam kembali nilai perjuangan, meski tanahnya mulai keras dan cuacanya tak bersahabat.


Tulisan ini bukan ratapan nostalgia. Ini adalah seruan. Bahwa dalam ilusi kemajuan yang dibungkus jargon “siber” dan “unggul”, kita perlu membongkar ulang arah. Perubahan nama tak menjamin perubahan nasib mahasiswa. Karakter kampus tidak cukup dibangun dengan branding, melainkan dengan keberanian untuk jujur, analisis, dan berpihak.


Hari ini, UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon belum memiliki karakter untuk benar-benar berkontribusi pada kemajuan bangsa. Sistem pengajaran masih kabur, orientasi pendidikan tak kunjung jelas. Seluruh civitas sebenarnya korban dari sistem yang telah mapan.


Dosen-dosen kehilangan independensi dalam mengajar. Materi disesuaikan dengan tuntutan administrasi, bukan kebutuhan berpikir. Kreativitas dicekik oleh format-format baku. Sementara birokrat kampus terus memutar otak demi mengejar kelayakan menjadi universitas siber. Tanpa sadar bahwa yang paling dibutuhkan bukan kelayakan formal, melainkan keberanian untuk memaknai ulang misi pendidikan.


Sungguh nestapa perjuangan ini.


Nestapa yang hidup di sebuah kampus yang namanya bertransformasi di atas Jalan Perjuangan, namun makin jauh dari semangat perjuangan itu sendiri.



Penulis: Raihan Atthaya Mustafa

Editor: Fadhil Muhammad RF

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama