Pagi itu, aku duduk di antara dua gedung Graha Mahasiswa—rumah bagi berbagai organisasi kampus, atau bahasa lainnya sekretariat. Sekilas, tempat ini mungkin tergambar sebagai arena pertempuran gagasan tiap-tiap UKM, UKK, bahkan Sema dan Dema yang bernaung di sana. Namun, jangan terkejut jika faktanya kamu akan menemukan hal sebaliknya.
Gedung ini membentuk huruf L yang terputus di sudutnya. Di gedung sebelah utara, dari luar, ia tampak rapi. Agaknya, mahapeka dan pramuka sebagai organisasi yang berkecimpung dengan alam, benar-benar mengamalkan kecintaannya terhadap lingkungan.
Namun bergeser ke selatan, tampak kontras, ironi. Gedung membentang dari timur ke barat, dengan dua pintu di utara dan barat. Pintu utara tak pernah terbuka, entah lupa kunci gemboknya atau memang dirasa tak perlu dibuka. Pintu barat? ibarat rumah yang selalu open house, bukan karena lupa kunci, justru karena pintunya susah ditutup rapat. Hanya teralis yang selalu digembok, agar menghalangi "orang asing" yang tidak memiliki kepentingan untuk masuk ke dalam.
Aku beranjak dari duduk, hendak masuk ke lantai dua gedung sebelah selatan. Sejenak, aku menoleh ke kanan dan kiri, terdapat dua buah toilet yang entah kapan terakhir dibersihkan, bahkan dipakai. Lantainya kering, baunya busuk, ruangannya gelap. Lebih cocok dipanggil gudang terbengkalai ketimbang toilet.
Ketika mendorong teralis itu, masuk perlahan, aku disambut hangat aroma debu, juga sekardus sampah yang menjadi pemandangan pertama di depan ruang UKM dekat pintu masuk. Lantainya pudar, tak hanya karena keramik, tapi karena lapisan debu yang tak pernah dibersihkan.
Menuju ujung lorong, aku menjumpai ruangan eksekutor kampus: Sema dan Dema. Di ruang Dema, terpajang beberapa barang inventaris, kondisi ruangannya lumayan bersih jika dilihat dari luar, hanya saja lalu lalang para eksekutor nampaknya agak jarang di gedung ini. Atau mungkin, aku yang tak tahu, silakan koreksi.
Bergeser ke yang paling ujung, terdapat ruangan kosong, hampa, penuh debu seolah sudah tak ditinggali bertahun-tahun. Di pintunya, sebuah tulisan terpampang gagah, "Sekretariat Senat Mahasiswa Institut". Berdasarkan tulisan itu, mungkin Sema telah lama meninggalkan graha, dan memilih ruangan lain di luar kampus sebagai sekretariat mereka. Sebab, kata "institut" memungkinkan ruangan ini tak pernah tahu bahwa kampusku telah berubah status menjadi universitas.
Kembali ke tengah ruangan, dua buah tangga berdiri berdampingan. Di bawahnya, barang-barang usang menumpuk, salah satunya piala tua yang menyembul—warnanya pudar, entah dari tahun berapa. Seolah prestasinya di masa lalu sudah tak lagi bermakna. Mungkin tergeser dengan piala-piala baru yang lebih gagah dan mewah.
Naik ke lantai dua, suara langkah kian menggema. Di ujung tangga, aku melihat tumpukan sampah yang menggunung. Kantong plastik, botol air mineral—semuanya seolah bicara tentang lupa dan lalai.
Pandanganku terdistrak, melihat tepat di seberang tangga yakni teras lantai dua. Aku rasa tempat itu tampak seperti asbak raksasa. Debu yang tertiup, berperang dengan abu rokok. Di lantainya, tapak sepatu yang entah sejak kapan, berdampingan dengan puntungan rokok yang seolah menjadi hiasan.
Dari tangga belok ke kiri, di ujung lorong, di depan ruangan LPM FatsOeN, tumpukan sampah menunggu giliran untuk dibuang, entah sejak kapan dan sampai kapan. Berkas dari berbagai UKM, hingga inventaris terbengkalai mewarnai ujung lantai dua graha mahasiswa.
Graha itu seperti rumah besar yang dihuni banyak orang, tapi tak satupun yang mau memegang sapu dan trashbag. Mungkin saja yang dibutuhkan graha saat ini tidak jauh-jauh riuh diskusi, hanya sebatas jadwal piket tiap organisasi, dan kesadaran memiliki yang perlu dibenahi.
Tulisan ini tidak dibuat untuk menghakimi organisasi manapun. Aku harap, setelah menulis ini, akan ada notifikasi pesan yang mengajak aku dan seluruh penghuni graha, untuk kerja bakti dan mempersolek rumah yang seharusnya kita rawat bersama. Semua penghuni, termasuk LPM FatsOeN.
Penulis: Fadhil Muhammad RF
Editor: M. Hijar Ardiansah