Pendidikan yang Membebaskan: Spiritualitas, Teknologi, dan Tekad Revolusi

 
sumber foto: Getty Image (Manusapon Kasosod)


Ini adalah kisah spiritual ajaib dan pergulatan batin Diyas Abdul Freire, seorang siswa kelas 12 jurusan IPS di SMA Osvia, Negara Kahona. Diyas, yang baru berusia 17 tahun, tengah menjalani fase pencarian makna di tengah sistem pendidikan yang ia rasa menyesakkan. Kahona sendiri sedang dipimpin oleh Presiden Soleils Jumaux, tokoh ambisius dengan visi futuristik nan kerap kontroversial. 


Waktu menunjukkan pukul satu siang. Pak guru baru saja keluar dari kelas setelah mencatat kehadiran murid-murid. Suasana kelas menjadi kacau. Tak ada kepastian apakah ini jam istirahat atau guru selanjutnya akan datang. Anak-anak laki-laki di bagian belakang sibuk bermain game, sementara murid perempuan dengan santai berselancar di media sosial sambil merencanakan akhir pekan penuh kemewahan. Di tengah hingar-bingar itu, Diyas justru duduk diam, termenung menatap meja. 


"Kenapa rasanya makin hari sekolah ini seperti pabrik?" bisik hati Diyas lirih. 


Renungannya tak main-main. Ia merasa sistem pendidikan yang ia jalani sangat jauh dari idealisme yang dipelajarinya dalam buku-buku. Pendidikan sebagaimana yang ia pahami, seharusnya menjadi jalan pembebasan manusia. Ia percaya bahwa pendidikan memiliki misi agung: menciptakan peradaban, menemukan kebenaran, dan menuntun manusia pada kebahagiaan sejati. 


Namun realita di SMA Osvia justru sebaliknya. Tidak ada ruang untuk bertanya, apalagi berkreasi. Murid hanya dituntut menjadi pendengar patuh, sedangkan guru, sibuk tenggelam dalam persoalan administrasi. Lebih lanjut lagi, komunikasi yang buruk kerap terjadi antara murid dan guru. Imbasnya, sering berujung konflik, bahkan kekerasan di ruang kelas.


"Kami seperti benda mati," pikir Diyas, 

"diatur oleh kekuasaan dan modal yang tak terlihat,"  lanjutnya menggerutu.


Bel pulang sekolah membuyarkan lamunannya. Teman sebangkunya menepuk pelan pundaknya. "Eh, bel udah bunyi. Pulang, yuk," ajak temannya.


Hari sudah petang. Di rumah, setelah mandi dan makan malam, Diyas kembali ke meja belajarnya. Ia membuka ponsel dan membaca berita yang membuat dahinya berkerut: Wakil Presiden Kahona menyampaikan rencana mengintegrasikan teknologi Kecerdasan Artifisial alias AI, dalam kurikulum sekolah dasar. 


"AI? Di SD? Negara ini siap?" batinnya bergejolak.


Pandangan matanya kemudian tertuju pada sebuah buku tua berjudul Pendidikan yang Memiskinkan, yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan. Buku itu usang, berdebu, dan seolah tak tersentuh selama bertahun-tahun. Saat ia membuka halaman pertama, tiba-tiba bumi bergetar. 


Meja belajar dan kursinya tetap utuh, tetapi ruang di sekelilingnya berubah. Menjadi putih, hening, dan dingin. Dua pria berusia sekitar 45 tahun muncul di hadapannya dan duduk. 


"Salam, aku Dsoevano. Dan ini Treso," ujar salah satu dari mereka sambil tersenyum tenang. 


Mereka memperkenalkan diri sebagai tokoh dari dua masa berbeda dalam sejarah pendidikan Negara Kahona. Percakapan mereka menjadi pengalaman batin yang luar biasa bagi Diyas. 


Pak Dsoevano berbicara tentang masa-masa awal pendidikan di negaranya, yang berfokus pada kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung. Kala itu, masyarakat banyak yang buta huruf dan akses pada buku—terutama yang berbahasa Latin—sangat terbatas. Ia juga menyampaikan bagaimana negara yang baru merdeka masih bergumul dengan keterbatasan dana dan infrastruktur pendidikan. 


Setelahnya, giliran Pak Treso berbagi kisah. Ia hidup di era saat fasilitas pendidikan mulai membaik. Kurikulum yang berlaku saat itu menekankan nilai-nilai moral, keagamaan, seni praktis, dan kesehatan fisik. Namun, di pertengahan masa jabatannya, muncul kebijakan baru seperti mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) yang menimbulkan kontroversi karena sifatnya yang dianggap indoktriner dan tumpang tindih dengan pelajaran lain. Ia juga mengkritik minimnya jam pelajaran seni, yang menurutnya penting sebagai wadah ekspresi dan penyeimbang emosi murid. 


"Tanpa seni, anak-anak kehilangan kepekaan dan jadi mudah dibentuk hanya sebagai alat," ujar Pak Treso serius. 


Percakapan itu berlangsung selama satu jam, namun saat bumi kembali bergetar dan semuanya menghilang, Diyas mendapati hanya lima menit yang berlalu di dunia nyata. Buku di mejanya sudah tertutup seperti semula. 


Ia termenung. Namun kali ini bukan karena kebingungan, melainkan karena tercerahkan. 

"Pendidikan yang sejati harus membebaskan. Bukan sekadar menyiapkan murid menjadi mesin penghafal," gumamnya. 


Diyas sadar bahwa sistem pendidikan yang baik tidak boleh lahir dari agenda kekuasaan, kelompok, atau kepentingan ekonomi. Ia pun kembali menyoroti berita tentang kurikulum AI.


"Jika 58% masyarakat masih tergantung pada teknologi dan belum merdeka dari akses internet yang timpang, bukankah ini justru bisa memperdalam ketimpangan?" pikirnya. 


Bagi Diyas, kurikulum IA bukanlah sesuatu yang salah. Tapi harus dirancang matang, berdasarkan kesadaran kritis dan kesiapan semua pihak: guru, murid, dan infrastruktur. 


Malam itu, ia memantapkan hati. 

"Kelak, Aku harus jadi pemimpin. Merancang pendidikan dengan sistem berdasarkan visi kemanusiaan dan pembebasan. Bukan kekuasaan."  


Ia mencatat rencana awalnya di buku harian. Membaca lebih banyak. Dan mencari teman seperjuangan yang memiliki pandangan yang sama.  


Perjalanan panjangnya baru saja dimulai!



Penulis: Haerul Tamami


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama