Kontroversi Larangan Pelajar Bawa Motor, Demi Anak Bangsa Atau Hanya Demi Citra?

 

sumber foto: Jawapos Bogor

Kebijakan Dedi Mulyadi melarang pelajar membawa motor terdengar heroik di permukaan: demi keselamatan, demi ketertiban, demi masa depan anak bangsa. Namun, mari kita kritisi: kebijakan ini lebih mirip reaksi instan daripada solusi jangka panjang. Ini bukan menyelesaikan masalah, melainkan hanya memindahkan masalah dari jalan raya ke pundak rakyat kecil.

Pertanyaannya sederhana: jika anak dilarang membawa motor, apa alternatifnya? Sebab rasanya, belum ada transportasi umum yang murah, aman, dan tepat waktu untuk menjawab tantangan kebijakan ini. 

Lantas, di mana fasilitas antar-jemput sekolah di desa-desa terpencil? Nyaris tidak ada. Kebijakan ini justru mencerminkan kegagalan negara dalam menyediakan infrastruktur transportasi yang memadai. Ironisnya, mereka justru membiarkan masyarakat hidup penuh kekangan: harus begini, dilarang begitu. 

Ditambah lagi, kebijakan masuk sekolah lebih pagi tentu menambah berat beban tersebut: gelap gulita, menyusuri jalanan panjang, berjalan kaki. Hal ini jelas bukan tanpa bahaya. Ancaman keselamatan bagi anak, akan menjadi taruhannya.

Lebih lanjut lagi, jika yang dikhawatirkan adalah keselamatan, mengapa bukan edukasi keselamatan berkendara safety riding yang digencarkan? Mengapa bukan SIM pelajar yang diformalkan? Mengapa bukan pembangunan sistem antar-jemput atau subsidi transportasi pelajar? Mengapa negara hanya bisa melarang, tetapi enggan bekerja keras untuk menyediakan solusi? 

Menurut penulis, kebijakan tanpa solusi adalah bentuk kemalasan yang dibungkus kepedulian palsu. Anak-anak bukan boneka yang bisa disuruh dan dilarang tanpa memikirkan konsekuensinya. Mereka adalah bagian dari rakyat, dan mereka berhak atas akses pendidikan yang adil—termasuk akses untuk sampai ke sekolah tanpa harus disalahkan hanya karena membawa motor.

Anak dibawah umur membawa motor sendiri memang tidak dibenarkan, namun kebijakan yang disahkan secara sepihak tanpa melihat sebab akibat, tidak jauh menyusahkan.

Perlu diingat, kritik bukan berarti menolak keselamatan. Justru ketika kebijakan hanya melarang tanpa menawarkan jalan keluar, maka kita patut bertanya: siapa yang sebenarnya butuh dididik? pelajarnya, atau pejabatnya?

Penulis: Ilyasa Ramadhan
Editor: Zahra Awliya S

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama