Barisan kata ini adalah hasil penangkapan dari pengalaman belajar di Universitas Islam. Setiap kalimat yang dituliskan adalah kesan, yang memang ditujukan untuk mengetuk dan membangkitkan kesadaran.
Sejauh yang penulis pahami, pendidikan adalah suatu usaha membentuk generasi yang memiliki kompetensi, dan yang dimaksud di dalamnya yaitu melingkupi perluasan wawasan, menajamkan nalar, penguatan kepribadian dan mengahaluskan perasaan. Setidaknya itulah yang pernah dibaca dari sosok inspiratif bangsa, Tan Malaka.
Lalu bagaimana dengan terminologi pendidikan Islam? Bagaimana definisinya? Bagaimana penerapannya dan apa output yang diharapkannya? Itu semua seperti bias dalam pengalaman 4 tahun penulis belajar di sana. Pada awalnya, penulis berpikir bahwa terminologi tersebut diciptakan bukan hanya untuk menciptakan generasi yang berkompetensi, tetapi juga generasi yang berkesolehan/luhur (berwibawa, bijaksana, dan peka). Namun, seperti pada umumnya, ekspektasi tentunya tidak sesuai dengan realita. Jangankan untuk mencapai keduanya, salah satunya saja minim kemungkinan. Menjadikan terminologi pendidikan Islam bukan sebagai sintesa dari dua paradigma, melainkan hanya sebatas klaim yang dibuat-buat dan dipaksakan demi membawa suatu identitas parsial.
Kebingungan untuk memetakan antara dialektik dan dogmatik terlihat jelas ketika materi yang diajarkan banyak yang bernotasi tentang formal realigiusitas. Dialektika yang dilakukan justru banyak pada ranah-ranah dogmatis. Perbandingan antar mahzab, tarekat-tarekat, perdebatan hadits shahih dan dhaif, halal dan haram. Yang pada intinya, mereka didorong untuk bagaimana menilai segalanya dari sudut pandang Islam yang mapan, atau mungkin dapat disebut usang.
Kita semua tahu bahwa ranah-ranah tersebut adalah ranah dogmatic (prinsip keagamaan) yang hanya perlu diyakini dan diimplementasikan sebaik mungkin dari masing-masing individu, bukankah itu esensi dari keyakinan. Jika Anda meyakininya maka Anda harus melakukannya, karena itu bentuk dedikasi Anda terhadap apa yang Anda yakini.
Untuk apa memperdebatkan sesuatu yang mana hal itu telah kita pilih sebagai apa yang kita yakini. Sebagai akibatnya, dari segi positif pun, pelajar muslim hanya mampu lantang ketika itu berbicara mengenai apa yang berkaitan dengan agamanya. Mereka hanya riuh di dalam, tanpa mampu membuat pengaruh dan berkompetisi di dunia luar, apalagi secara global.
Universitas tempat penulis belajar memiliki motto “Unggul Mendunia”. Masalahnya, bagaimana dapat unggul di ranah dunia, jika percakapan akademik kita saja bahkan tertinggal jauh dengan apa yang dielaborasi oleh akademisi dunia. Tentu Anda tahu bahwa kemarin, Ketua Umum PBNU membuat analogi antara Ekologi dengan Wahabi ketika dia hendak memberikan perspektifnya terkait tambang nikel di Raja Ampat. Hal yang sangat memalukan, sangat mencerminkan bahwa akademisi muslim tidak memiliki pemahaman lain, selain pemahaman yang berkaitan dengan formal realigiusnya.
Untuk memahami percakapan dunia, kita harus menguasai bahasa dunia, yang dalam konteks ini tentunya bahasa inggris. Namun masalahnya intensif bahasa Inggris di kampus tidak bisa fokus mungkin hanya sebatas syllabus. Selain intensif inggris ada juga intensif Arab, padahal mengejar dua rusa dalam satu waktu membuat pemburu tidak akan mendapatkan keduanya. Maka bagaimanakah orientasi dari adanya program intensif itu, menciptakan penerjemah dunia untuk masyarakat Indonesia atau menciptakan pekerja migran untuk Tanah Sucinya.
Biasnya pemisahan antara pendidikan dogmatic dan dialektik itu membuat akademisi Islam tidak akan mampu menjawab persoalan dunia luas yang saintifik. Indonesia dengan biodiversitas dan kekayaan alamnya memiliki sumber daya akan energi masa depan dunia dan tentunya daya tarik pariwisata yang berkelanjutan. Untuk mengelola kedua potensi itu secara berdampingan, Indonesia membutuhkan cendikiawan yang paham ekologi dan oceanografi, bukan sebatas cukup pandai mengaji. Indonesia butuh periset dan narator alam bukan Qalam. Indonesia tidak butuh akan kisah-kisah Surgawi karena kita adalah tanah surga itu sendiri. Untuk dapat menciptakan generasi kompeten, pendidikan harus berdialetika pada sesuatu yang memiki relavansi dengan keadaan sekitar dan zaman.
Sepertinya terminologi pendidikan Islam yang bahkan sampai diimplementasikan di ranah Universitas hanyalah egoisitas untuk menampilkan identitas parsial dari kepentingan otoritas yang ada. Bukan elaborasi keilmuan, namun hanya klaim dan legitimasi.
Mengapa sesuatunya harus membawa predikat-predikat keagamaan, Filsafat dijadikan Aqidah Filsafat Islam, Komunikasi dijadikan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Konseling dijadikan Bimbingan Konseling Islam, lalu ada tasawuf dan Psikoterapi, dan Sosiologi Agama. Daripada Sintesis keilmuan, ini hanya lebih terlihat sebagai penjajahan epistemik yang tidak lepas dari kepentingan otoritas berkuasa.
Kepentingan otoritas berkuasa mungkin juga dapat dilihat dari adanya entitas lembaga yang berwenang untuk menilai dan mensertifikasi standar kualifikasi keislaman peserta didik melalui keterangan lulus hafalan, baca dan tulis quran, kitab kuning dan praktik ibadah. Yang mana sertifikasi itu dijadikan prasyarat pengajuan proposal penelitian tugas akhir. Di sana juga memiliki agenda praktik manasik haji, dan itu semua diterapkan untuk semua mahasiswa, meski pun program studinya tidak memiliki keterkaitan dengan hal realigius.
Seperti anomali rasanya mahasiswa diajari materi yang sama seperti yang diajarkan untuk anak-anak di madrasah. Ini seolah mencerminkan bahwa pendidikan islam bahkan sampai pada ranah Perguruan Tinggi pun masih saja berorientasi akut pada identitasnya bukan intelektualitasnya.
Tantangan untuk membentuk generasi kompeten Islam tidak hanya ada diarah pendidikanya, namun juga ada pada kualitas peserta didiknya. Dari hasil pengamatan penulis, baik ketika sebagai pelajar maupun sebagai pendamping pembelajaran. Sangat banyak mahasiswa yang secara kualifikasi jenjang pendidikan tidak layak disebut sebagai mahasiswa. Mereka menyampaikan materi dengan membaca, mereka tidak dapat menjelaskan apa yang baru saja mereka baca setelahnya. Ketika mereka menerima pertanyaan dari teman kelasnya terkait materi yang baru saja mereka sampaikan, mereka meminta waktu sejenak untuk (googling) mencari teks yang dapat mereka bacakan.
Pada intinya Mereka sangat pasif dan bahkan tidak pernah terlibat dalam disktusi kelas. Namun anehnya, nilai mereka tetap A dan hingga akhirnya wisuda. Membuat penulis berpikir bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan untuk kelulusan.
Berdasarkan pengamatan pula, banyaknya mahasiswa yang sangat pasif itu adalah mereka yang berasal dari pendidikan keislaman, seperti pesantren ataupun madrasah aliyah. Asumsi tersebut diperkuat oleh lingkungan terdekat penulis sendiri, yaitu ruang kelas program studi. Di Prodi X kelas dipisahkan berdasarkan latar sekolah, Kelas A yang diisi oleh mayoritas berlatar Pesantren dan MA meskipun jumblahnya 2 kali lebih banyak dari Kelas B yang diisi oleh mayoritas SMA namun sangat jarang terjadi proses diskusi.
Hal tersebut menarik karena menimbulkan pertanyaan, apakah karakter pasif peserta didik tersebut dipengaruhi oleh latar belakang pendidikanya? Berdasarkan teori behavioralis, karakter atau sikap manusia bersandar pada kebiasaan atau pembiasaan yang mereka terima, hal itu disebut unconcious behavior.
Pelajar dengan latar belakang keagaamaan akan lebih banyak menerima pengajaran yang bersifat dogmatic, kultus atau tidak dapat dipertanyakan seperti kisah para nabi, para wali, kisah tokoh tokoh lokal yang memiliki karomah dan lain sebagainya, dari materi materi non dialektik tersebut tidak ada ruang untuk mereka dapat mengekspresikan persepsinya dengan cara mempertanyakannya. Dengan kultur sopan santun dalam pendidikan Indonesia yang sebagaimana kita ketahui bersama, pada akhirnya mereka memilih mempercayai daripada memahami.
Pola tersebut hanya sebatas transfer informasi, transfer argumen secara satu arah yang disebut Freire sebagai educational banking. Karena jarang ada ruang yang membuat siswa dapat mengekspresikan pendapatnya, mereka menjadi tidak dapat belajar bagaimana cara memahami konteks lalu mengargumentasikannya, sehingga terjadi komunikasi dialektik yang kita sebut sebagai diskusi.
Berbeda dengan pelajar dengan latar sekolah umum yang memiliki banyak konteks materi non keagamaan untuk diragukan dan dipertanyakan. Sehingga dari sana mereka lebih sering mendapatkan ruang untuk belajar memahami dan mengargumentasikan. Sejauh ini, asumsi tersebut dirasa tepat dalam memahami mengapa mahasiswa prodi x di kelas B jauh lebih aktif, meskipun dengan jumlah yang lebih sedikit dari kelas A. Hal yang sama juga mungkin berlaku pada banyaknya mahasiswa pasif di beberapa kelas yang pernah penulis kunjungi.
Sepertinya sudah cukup banyak tulisan ini jika hanya untuk mengisi tajuk media. Kalimat penutup yang ingin penulis sampaikan, selama kita tidak dapat memisahkan mana sisi keagamaan yang personal dengan sisi pendidikan yang membutuhkan evaluasi dan penyesuaian dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat di zamannya. Selama itu pula, pendidikan hanya formalitas tanpa mampu menciptakan transformasi baik dalam ranah personal maupun sosial ke arah yang lebih baik. Jika hal tersebut tetap berlanjut, mungkin hadits itu memang benar (shahih) bahwa umatnya adalah seperti buih di lautan. Artinya banyak, namun tidak berarti.
Penulis: Alfa Julian
Editor: M. Hijar Ardiansah