Setelah bersukacita atas rampungnya transformasi kelembagaan, civitas akademik Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati (UIN SSC) kembali dibuat terlena, usai diraihnya akreditasi unggul dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Tentunya, ini membuat kampus semakin pede menggaungkan slogan "Kampus Unggul Mendunia" yang sayangnya, hanya sebatas slogan dan masih angan.
Cacat fasilitas, minim infrastruktur, ijazah ngaret dibagikan, hingga program unggulan Ma'had yang terkesan dipaksakan, seolah menjadi indikasi bahwa UIN SSC belum siap bertransformasi, arahnya cenderung "haus validasi". Terdengar hiperbola? barangkali. Tapi itulah fakta yang terjadi.
Sebelum meraih akreditasi unggul, isu fasilitas sempat menjadi sorotan. Kelas gerah, wifi lemot, toilet rusak, gagang pintu patah, hingga kursi cacat, menjadi bukti awal bahwa kampus kita, masih jauh dari kata unggul, apalagi mendunia. Lantas, apa arti standar unggul yang digaungkan?
Tak jarang, mahasiswa harus menahan gerah di dalam ruang kelas, sebab pendingin ruangan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, terdapat juga beberapa ruangan yang tidak memiliki gorden, sehingga sinar matahari semakin menyengat dan mengganggu kenyamanan belajar mengajar.
Gedung G dan laboratorium komputer di Gedung K, merupakan contoh dari gagalnya kampus memberikan ruang kelas yang nyaman. Kombinasi antara tidak berfungsinya AC dan nihilnya gorden, tentu menjadi kesan tersendiri bagi mahasiswanya. Terlebih di ruang 303 gedung K, bau mesin komputer semakin membuat ruangan terasa engap.
Selanjutnya, di benak kita ketika mendengar nama Siber yang tersemat, tentu kecanggihan teknologi yang dimiliki. Namun sayang, realitanya terkadang mengecewakan. Di lobi kelas, di tangga fakultas, di taman-taman kampus, kerap terdengar sayup-sayup keluhan mahasiswa tentang leletnya wifi di kampus siber. Masih seputar ketidakcanggihan teknologi, belakangan ini smartcampus UIN SSC kerap diretas, dan portal akademik sering mengalami gangguan server. Lebih menggelikan lagi, saat masa transisi kelembagaan, akun Instagram IAIN Syekh Nurjati harus mati karena lupa kata sandi.
Sedikit membahas infrastruktur, perpustakaan tentu menjadi jantung intelektual kampus. Namun pada beberapa kasus, ada beberapa jantung yang lemah detaknya. Inilah yang terjadi di UIN SSC. Bagaimana tidak, perpustakaan disini hanya buka 8 jam sehari, dikurangi 2 jam untuk istirahat siang dan shelving, maka artinya perpustakaan hanya melayani mahasiswa 6 jam dalam setiap hari kerja (08.00-15.00).
Terlalu sebentar apabila dibandingkan dengan kampus-kampus lain. Sebagai contoh dikutip dari Pabelan Online, perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta buka hingga pukul 8 malam. Hal serupa juga diterapkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Mei 2025.
Di kampus unggul ini, agaknya mahasiswa tidak terlalu dituntut berpikir kritis. Sebab, mayoritas pengajar masih menggunakan sistem belajar yang monoton. Mahasiswa dibagi kelompok, ditugaskan membuat makalah, yang pada akhirnya lebih cocok disebut "buku kutipan" dari sumber-sumber karya ilmiah, asal memenuhi standar penulisan yang ditentukan, dan sumber referensi-nya bukan dari Al. Lantas setelahnya, mereka harus memaparkan apa yang telah disusun, dan terakhir membuka sesi diskusi yang ironisnya, beberapa sudah dirancang sedemikian rupa hanya agar diskusi terlihat berjalan. Setelah semuanya selesai, dosen menyampaikan penjelasan yang terkadang membosankan dan bikin ngantuk.
Hal serupa terus berulang sampai perkuliahan rampung di penghujung semester, hingga akhirnya, lama kelamaan sistem seperti ini menjadi tradisi. Asalkan perkuliahan selesai, dan isi RPS terealisasi.
Februari 2025 kampus ini mencetak sejarah dengan menggelar wisuda pertama sebagai lembaga universitas. Rasa bangga yang sempat dirasa, perlahan berubah menjadi resah. Sebab, seolah minim persiapan, sampai dengan awal Juni, ijazah wisudawan belum dibagikan.
Dikonfirmasi langsung oleh Wakil Rektor (warek) 1 bidang akademik dan kurikulum, salah satu penyebab ngaretnya pembagian ijazah adalah proses verifikasi data imbas transisi kelembagaan kampus. Alasannya, ditakutkan ada dokumen yang masih berstatus Institut, bukan Universitas. Hal ini bukti nyata bahwa kampus tidak siap, sebab proses transisi sudah berlangsung sejak lama dan gelar universitas resmi disahkan pada pertengahan 2024. Seharusnya, proses verifikasi data telah dilakukan sejak nama universitas resmi disandang, sehingga tidak perlu mengorbankan empat bulan berharga bagi wisudawan untuk mendapatkan ijazah.
Tak cukup sampai disitu, program Ma'had Al-Jami'ah yang kini diwajibkan bagi mahasiswa baru, klaimnya merupakan program unggulan UIN SSC. Dalam program ini, mahasiswa dibagi menjadi dua yaitu mukim (menetap di ma'had), dan non mukim (tidak menetap di ma'had) yang diseleksi melalui placement test pada awal tahun ajaran baru.
Tak hanya diwajibkan, mahasiswa bahkan dikenakan tarif layanan di luar UKT. Padahal, berdasarkan pedoman Ma'had Al-Jami'ah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjenpendis), pembiayaan program ini berasal dari UKT, APBN (BOPTN), dan kerjasama dengan pihak lain, atau kegiatan bisnis di bawah Ma'had.
Dengan diterapkannya tarif layanan sebesar 1,2 juta bagi mahasiswa non mukim, dan 1,8 juta bagi mahasiswa wajib mukim, ini bukan sekedar komersialisasi layanan, tapi juga pendobrakan pedoman yang telah ditetapkan.
Demi langgengnya program ini, kampus bahkan memasukkan tiga mata kuliah Ma'had ke dalam portal akademik. Konsekuensinya, bagi mahasiswa yang belum bayar, nilai di portalnya menjadi E alias nilai terendah. Hal ini tentu meresahkan, sebab meski 0 sks, adanya nilai E di Kartu Hasil Studi (KHS), dapat mempersulit mahasiswa dalam memenuhi persyaratan seperti pengajuan beasiswa pendidikan dan sebagainya.
Lebih lanjut, program ini juga mempersulit mahasiswa yang belum melunasi tagihan dalam mengikuti kegiatan akhir seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan seminar proposal. Rasanya, kampus tidak tahu malu. Telah melenceng dari pedoman, namun justru mempersulit mahasiswa
Sama dengan sebelum diterapkan tarif layanan, apa yang dialami mahasiswa tak jauh berbeda. Proses belajar-mengajar masih sama. Feedback yang didapat pun juga sama. Mahasiswa diberi kitab kuning, modul PPTQ berbentuk file PDF, dan di program pamungkas manasik haji, mahasiswa hanya mendapat "oleh-oleh" sebuah roti beserta air mineral botol 330ml. Sungguh ironi, sekalipun telah memungut tarif, kualitas layanan tidak berubah sama sekali.
Sejatinya, semua hal tadi menjadi tanda bahwa UIN SSC belum siap menyandang predikat unggul. Mungkin saja kampus kebelet siap demi mengejar reputasi, atau justru terlanjur berat memikul nama "kampus siber" sehingga tindak tanduknya menjadi kalap. Pada praktiknya, memang segala hal tidak serta merta sempurna, namun mau sampai kapan kampus menumbalkan mahasiswa? mau sampai kapan kenyamanan mahasiswa diacak-acak demi nama mentereng di luar sana? jangan terlena, ayo, segera berbenah, sayang.
Editorial LPM FatsOeN