Ilustrasi : Google Images
Suatu hari di sebuah daerah yang tak terpencil juga tak bisa disebut sebagai wilayah maju dan modern, hidup seorang pemuda yang duduk di bangku sekolah menengah atas. Dia adalah orang yang punya penampilan tenang namun mata hitamnya memancarkan tatapan tajam. Teman-temannya biasa memanggilnya dengan sebutan Bang. Sekolah tempatnya belajar adalah sekolah yang terkenal dengan siswanya yang kotor dan serampangan. Guru di sana sudah tak mampu lagi memperbaiki sifat peserta didiknya.

Bang yang risih dengan orang-orang yang kotor dan biasa membuang sampah sembarangan pun sudah tak tahu harus bagaimana. Dia hanya bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya, sampai suatu hari saat dia sedang makan di kantin salah satu geng lewat dan membuang sampah plastik tepat di meja tempat Bang menyantap makanannya. Merasa terganggu, dia memanggil salah seorang yang membuang sampah tersebut.

“Woy, lu. Jangan buang sampah sembarangan di sini!” ujar Bang dengan nada sedang, menahan emosi. Si pelaku yang dimaksud si Bang menghentikan langkahnya dan berbalik.

“He? Lu ngomong sesuatu? Kuping gue belum siap tadi,” balas si lelaki yang membuang sampah itu.

Bang berdecak sambil berdiri meninggalkan kursinya dan berkata, “Oh, oke. Jadi gini bro—“

“—dah jangan banyak basa-basi, langsung ajah!” potong si lelaki dengan nada menyolot. Dia mengangkat kepalanya dan menatap sinis kepada Bang.

Bang menarik napas pendek dan mendekat ke hadapan lelaki itu dengan kepala mengangguk-angguk. Setelah menelan ludah beberapa kali, Bang menggeberak salah satu meja kantin yang terbuat dari kayu jati. Suaranya cukup keras sampai seluruh orang di kantin memusatkan pandangan kepada mereka.

"Gue suka gaya lo. Laki-laki nggak usah banyak omong. Kita ke lapangan sekarang,” ujar Bang dengan nada yang sangat tenang. Suara siulan terdengar dari salah satu orang dalam komplotan si lelaki pembuang sampah itu.

Lelaki itu tersenyum kecut. Ia menatap sekeliling sebelum mengarahkan pandangan tajamnya ke arah Bang dan berkata, “Gue ladenin.” Satu kalimat itu sudah cukup untuk menaikkan tensi seluruh orang dalam ruang kantin. Belum sampai sepuluh detik, informasi mulai merambat seperti api yang membakar jerami.

Berbondong-bondong orang mengikuti Bang dan si lelaki pembuang sampah itu sampai ke lapangan. Sebuah lingkaran terbentuk di tengah lapangan sekolah yang panas. Tanpa basa-basi, Bang langsung menyerang si lelaki itu. Perkelahian tak bisa terelakkan lagi. Melihat temannya hampir babak belur, komplotan si lelaki itu memasuki arena dan membuat Bang kewalahan.

Perkelahian menjadi lebih panas ketika Bang berlari ke arah gedung sekolah. Geng yang menjadi lawannya mengejar. Bang yang kewalahan, memanfaatkan setiap belokan di lorong depan kelas dan peralatan yang ada, sampai ia berdiri mengalahkan semua orang dalam geng yang memang sudah menjadi provokator dan pelopor keserampangan perilaku dalam sekolah. Tak ada yang berani dengan mereka, bahkan guru sekalipun. Itu karena orang tua si lelaki pembuang sampah yang juga ketua geng tersebut memiliki pengaruh politik yang kuat di kota tersebut.

Bang yang bercucur keringat, luka, dan air mata, berjalan melewati semua orang yang mengelilinginya. Bahkan ia tak memedulikan guru yang khawatir kepadanya, dan menatap sinis kepada guru yang mengetahui apa yang terjadi namun berencana menyalahkan semua yang terjadi kepadanya. Bang terus berjalan sekuat tenaga sampai ia sampai di ruang guru.

Dia menatap semua orang yang ada di sana. Mereka kebingungan melihat Bang yang penuh luka. Dia menuju sebuah perangkat audio yang terhubung dengan speaker di seluruh sudut sekolah. “Pinjam ini sebentar, Pak, Bu,” ujarnya, lemah. Kemudian dia mulai berbicara.

“Kepada seluruh warga sekolah, aku Bang. Langsung saja, bagaimana jika matahari tidak terbit lagi esok hari? Bagaimana jika bunga sudah tak mekar lagi, dan tumbuhan sudah menghilang dari muka bumi? Apakah tujuan kita ada di sekolah ini? Apakah kalian hanya ingin menentukan siapa yang paling kuat? Jangan bercanda! Persetan dengan sekolah ini. Semua orang harus melawan jika ingin sebuah perubahan. Jika ada sebuah kesalahan, maka sekolah di negeri ini adalah sebuah kesalahan.

Kenapa menjadi orang yang bersih disebut sebagai kriminal? Mengapa mereka yang memberikan ludah mereka dan merampas milik kita menjadi seorang pahlawan? Mengapa membuang sampah pada tempatnya menjadi sebuah kejahatan? Seseorang, tolong lawan ketidakbenaran ini. Aku sudah bosan meladeni mereka setiap hari. Para guru pun sudah lumpuh. Jadi tak ada jalan lain selain perubahan dari kita.

Mungkin besok kalian tidak akan melihatku lagi. Mungkin aku tak akan dikenal sebagai orang yang merubah dan menjadi penjahat abadi dalam catatan sekolah. Namun, jika masih ada yang mau menjadi kriminal sepertiku, tolong dengarkan aku. Ini adalah pesanku. Tolong bersihkan kotoran di sekolah kita.”

Terdengar suara pelantang yang diletakkan tanpa dinonaktifkan. Seorang lelaki dengan lengan terkulai berjalan terpapah-papah keluar dari gerbang sekolah. Ia terhapus oleh debu yang terbawa angin.

Penulis : Alfarabi Maulana

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama