Ilustrasi Matahari Terbit. Sumber foto : Freepik

"Di saat setiap orang menyimpan rahasia yang tak pernah terdeteksi oleh ribuan kata-kata, ketulusan dan bahasa tubuh seseorang bisa menjadi senjata untuk meruntuhkan segala macam pertahanan diri."

Seorang perempuan berhenti di bawah sorot lampu jalan, ia terlihat lelah dari gurat wajahnya yang dirundung kesedihan. Air matanya mulai berjatuhan sejak ia memasuki gang tempatnya tinggal dan pada setiap langkah perjalanannya ia mencoba menghapus tetesan air mata itu. Hingga pada puncaknya ia menyerah, tak sanggup lagi melanjutkan jalan, pun tak sanggup lagi menahan air mata agar tidak terus berjatuhan. Ia berjongkok di tempatnya berdiri, menarik urat wajah yang tertahan, lalu menangis sejadinya. 
 
Di sepanjang jalan yang sepi, tangisnya menjadi satu-satunya sumber suara di tengah-tengah keheningan malam. Ponsel yang digenggamnya bergetar sebab panggilan masuk dari seseorang. Puluhan pesan teks dan panggilan telepon dari seorang laki-laki tak pernah digubris olehnya. Ia marah pada semuanya, pada kehidupan pula. Rasanya disaat seperti ini ia ingin memutuskan hubungan dengan siapa pun, dengan teman-teman, dengan sahabat, bahkan dengan keluarganya sendiri. Dan panggilan itu kembali berakhir sebelah pihak sebelum berhasil dijawab.

Beberapa menit berikutnya, cahaya dari sepeda motor yang dikendarai oleh seorang laki-laki mampu menemukan perempuan itu, ia masih dengan posisi yang sama, berjongkok dan menangis. Laki-laki itu buru-buru menghampirinya, "Kamu kenapa? Kenapa tidak ada kabar sejak tadi sore? Kenapa pesan dan teleponku tidak dijawab? Aku khawatir, takut terjadi apa-apa sama kamu," serunya penuh nada cemas bercampur emosi.

Perempuan itu hanya menangis tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan ia bukan marah pada semua orang, tapi ia pun marah pada diri sendiri. Mengapa masih seperti ini saja? Mengapa masih belum menerima takdir? Mengapa masih memikirkan hal-hal yang dibenci? Mengapa setiap masalah itu datang, hanya bisa menangis dan tidak bisa apa-apa? Mengapa?

***
Udara cukup dingin di sore hari. Ditemani semilir angin, aku duduk sembarang di meja-meja bekas yang telah usang dimakan usia. Matahari nampak begitu jingga menembus mata coklatku yang menyala karenanya. Aku berada di atap gedung tempatku tinggal, melamun tanpa arah pemikiran yang jelas. Mataku masih sedikit bengkak bekas menangis semalaman. Emosi yang masih tertahan belum puas aku luapkan, belum puas aku membentak laki-laki itu tadi malam, belum puas aku menyalakan semuanya. Hanya karena persoalan klasik yang aku sendiri sulit lepas dari permasalahan itu. 
Aku memiliki pemikiran yang konyol. Sejak SMA aku berpikir aku tidak akan pernah menikah. Saking tidak ingin menyaksikan perpisahan aku tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun, lebih dari itu aku hanya takut aku mendapatkan begitu banyak rasa sakit dan kecewa dari hubungan yang aku jalani tersebut. Benar bahwa aku memiliki trauma yang begitu dalam. Aku tidak suka jika ada yang tahu bahwa keluargaku berantakan, aku marah saat ayah dan ibu selalu bertengkar, aku benci menyaksikan semua itu. Aku sangat muak.

Semua itu berjalan dengan bergulirnya waktu yang begitu cepat, tak kusangka aku hidup di tengah-tengah keadaan keluarga yang tidak sehat, 10 tahun menyembunyikan rahasia dari semua orang, menahan semua perasaan sakit hati, selalu mencoba memikirkan kebaikan yang bagiku itu begitu absurd. Mengapa aku disuruh sabar dan pasrah pada Tuhan di tengah-tengah kesendirianku menghadapi masalah ini? Aku tahu sabar itu ada batasannya dan sejak dulu aku sudah muak dengan kesabaranku, dengan kepasrahanku melihat perilaku ayah yang tidak baik pada ibu dan berdampak pada anak-anaknya.

Suatu hari aku pernah mengatakan pada ibu bahwa aku tidak akan pernah menikah dengan alasan rasa takut, lalu ibu marah. Katanya aku harus menikah, aku harus merasakan yang perempuan lain rasakan,  katanya aku juga harus memiliki seorang anak. Aku hanya tidak habis pikir, mengapa ibu masih bisa mengatakan seperti itu disaat hubungan pernikahannya dengan ayah berantakan. Aku hanya menyayangkan keputusan ibu yang tidak bijaksana. Mungkin ibu tahu, aku begitu adalah bentuk protes karena ibu tak lekas bercerai dengan ayah.
Kenapa ibu masih mempertahankan hubungan yang ia sendiri menjalaninya dengan susah payah? Dengan rasa sakit hati yang bertubi-tubi, dengan mencoba diri untuk ikhlas menerima takdir, ibu meyakini bahwa pengorbanannya bisa digantikan dengan kenikmatan di surga nanti. Omong kosong perkara surga, faktanya, ibu menjalani proses menuju surga itu dengan selalu mengeluh padaku, mengeluh tentang perilaku ayah, tentang sikap ayah, tentang keburukan ayah yang sangat aku benci. Kenapa ibu begitu? Selalu memberi kabar padaku bahwa ayah telah begini dan begitu? Membuat aku muak, membuat aku sakit hati, membuat aku ingin bunuh diri saja. Yang pasti aku tidak akan pernah menikah jika Tuhan tetap menyuruhku hidup panjang di masa depan. Itu keputusanku. 

***
Aku masih menikmati matahari yang akan pamit di ufuk barat sana, sendirian di atap gedung tempatku tinggal. Tanpaku sadari ternyata seseorang telah berdiri di sampingku, entah sejak kapan. Dia adalah laki-laki itu, yang selalu menatapku dengan keibaan paling tinggi, seolah-olah ia bisa merasakan apa yang kini kurasakan, seolah-olah ia telah hidup 10 tahun di dalam keluargaku yang hancur. Aku masih belum menyadarinya, sebelum ia menempelkan minuman cup berisi jus jeruk di pipiku. Aku kedinginan lalu menjauhi pipiku dari minuman itu. 

"Melamun saja sih, ini minum dulu," katanya memulai pembicaraan.

Aku diam, tak peduli dan menatap matahari lagi. Semilir angin meniup rambutku berulang kali, itu pun aku tidak peduli. Aku hanya melamun dan memikirkan satu kalimat yaitu aku tidak akan pernah menikah. Tidak akan. Aku tidak akan menyakiti perasaan anak-anakku nanti, tidak akan mengecewakan mereka.

"Sudahlah, sayang, ada aku di sini," laki-laki itu berbisik, meraih puncak kepalaku lalu mengelusnya lembut. Aku menoleh padanya, "Kenapa masih menemaniku? Aku bilang kan aku tidak akan pernah menikah, orangtuamu tidak mengerti hubungan kita bagaimana, 'kan?"

"Bukan begitu. Bapak dan ibu minta maaf atas kejadian kemarin, mereka gak tahu keadaan keluarga kamu bagaimana, aku sudah jelaskan dan mereka mengerti sekarang," sahutnya hati-hati.

Laki-laki itu selalu begitu, dia sangat baik dan berhati-hati merawatku. Sejak dulu ia mengetahui bahwa aku tidak akan pernah menikah, hubungan kami pun tidak diikat oleh status apa pun, meski dulu dia sangat ingin aku menjadi kekasihnya. Aku memberi banyak pemahaman dan begitu aneh, yang pemahaman itu pasti merugikan aku sebagai perempuan. Seperti pasangan lainnya, aku mengizinkannya melakukan apa saja denganku termasuk bersenang-senang di atas ranjang, tapi ia selalu menolak melakukan itu saat kutawarkan. Bagiku tidak menjadi masalah jika aku hamil sekali pun, aku senang jika aku memiliki anak darinya, aku hanya tidak bisa menerima sebuah hubungan dengan status pernikahan, aku hanya tidak ingin perpisahan yang tertulis, aku tidak ingin orang-orang tahu jika mungkin nanti aku gagal dalam pernikahan.

Kemarin malam aku kabur saat berkunjung ke rumahnya, orangtuanya menyuruh aku harus menikah, juga keluargaku harus begini dan begitu. Aku paling tidak suka orang lain dengan seenaknya menyinggung keluargaku. Belum lagi aku baru saja dapat kabar bahwa ayah berulah lagi di rumah. Aku memang sulit, terkadang pikiranku juga sakit, tapi laki-laki itu selalu datang lagi dan lagi meski sudah aku usir beribu kali. 

"Aku salah, aku yang tidak pernah dewasa menyikapi keadaan. Dan aku tetap tidak akan pernah menikah, bagaimana menjelaskan itu pada orangtuamu?" tanyaku.

"Tidak masalah, kamu hanya perlu tahu aku menunggu kamu, begitu juga dengan orangtuaku, sampai kapan pun mereka menunggu kita menikah," katanya memegang kedua pipiku, aku ditatapnya penuh harap, tapi aku hanya mampu meneteskan air mata terus menerus. Sebab aku tidak begitu tega membiarkan waktunya habis untuk menungguku dan membuatnnya kecewa, karena aku tetap memilih untuk tidak menikah.

Penulis : Poni Rahayu

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama