Ilustrasi W.S. Rendra dan Demonstrasi 27 Juni 1944
canva.com/Akhmad J

Tepat tanggal 27 Juni 1994, WS Rendra turut bergabung dalam aksi gabungan mahasiswa, wartawan, aktivis dan seniman yang menuntut Departemen Penerangan membatalkan pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) Tempo, Detik, dan Editor.

Willibrordus Surendra Broto Rendra atau lebih akrab dengan sapaan WS Rendra memiliki riwayat perjalanan panjang sebagai seorang sastrawan. Melalui karya-karyanya, baik puisi, cerpen, dan tulisan-tulisan nonfiksi, Rendra tak hanya menyihir para pembacanya, tapi juga mengkritik kekuasaan Orde baru pada masa itu.

Sosok yang dijuluki sebagai “Si Burung Merak” itu dianggap berbahaya oleh rezim Orde Baru, lantaran karya-karyanya yang selalu menyinggung pemerintah. Kekuasaan otoriter pada saat itu sangat membatasi ruang gerak para seniman, terutama yang mengkritik pemerintahan.

Rendra yang dikenal aktif mendukung gerakan mahasiswa dan mementaskan kesenian yang menyindir pemerintah kerap disorot aparat. Pada 1 Desember 1977, dalam rapat mahasiswa di Salemba, Jakarta, pembacaan puisi Rendra yang berjudul “Pertemuan Mahasiswa” mengobarkan semangat perlawanan. Pada tahun itu juga, Rendra ditangkap dan menjadi tahanan di rutan militer Jalan Guntur, Jakarta. Setelah kejadian itu, pementasan teater Bengkel Teater Rendra kerap mendapat pengawasan ketat dari aparat.

Belanjut pada senin, 27 Juni 1994, terjadi demonstrasi di Jakarta, ratusan aktivis, seniman, dan wartawan melakukan long march ke kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Mereka mendesak pemimpin Departemen Penerangan, Harmoko, membatalkan pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya, karena pemerintah enggan menuruti permintaan pendemo.

Sekitar pukul 11.00, belasan anggota Bengkel Teater pimpinan Rendra yang ikut tergabung di Lapangan Monas. Mereka duduk melingkar dan bersilah. Tak lama kemudian perwira militer langsung merangsek para demonstran sehingga membuat mereka kocar-kacir. Rendra yang saat itu berusia 58 tahun terkena beberapa pukulan dari aparat. Para perwira militer dalam peristiwa kekerasan terhadap demonstran itu memakai celana loreng, berkaos oblong, dan membawa tongkat rotan.

Selain melakukan pemukulan, aparat juga melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Rendra dan beberapa aktivis lainnya yang melakukan demonstrasi memprotes pemberedelan media tersebut di dekat kantor Departemen Penerangan.

Pada 7 Juli 1994, Rendra sempat dibebaskan tetapi kembali memprotes pembredelan tersebut dengan cara mengadukannya kepada DPR. Rendra sendiri diterima oleh DPR, fraksi PDI dan fraksi ABRI. Setelah panjang lebar mengecam pemberedelan TEMPO, Editor, dan DeTIK akhirnya mendengarkan aspirasi penyair tersebut.

Rendra kerap menyuarakan kritik terkait problematika kehidupan masyarakat pada masa itu, terkhusus pada hubungan antara penguasa dan rakyat. Karena kritis terhadap kondisi sosial politik pada masa orde baru, penguasa kepanasan dan menyasar Rendra karena karya-karyanya yang keras. Contoh puisi yang membuat pemerintah kepanasan adalah puisi berjudul “Sajak Kenalan Lamamu”, berisikan kritikan keras untuk pemerintahan Orde Baru yang kejam.


Politik adalah cara merampok dunia.

Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan,

untuk menikmati giliran berkuasa.

Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan,

dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi

lalu ke mobil sport, lalu: helikopter!

Politik adalah festival dan pekan olah raga.

Politik adalah wadah kegiatan kesenian.

Dan bila ada orang banyak bacot,

kita cap ia sok pahlawan.


Penulis: Iswanto

Editor: Inggit N.I.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama