Sumber: Dokumentasi Penulis
Studi Mahasiswa Sejarah di Gerabah Sitiwinangun

Cakrawala Indonesia terbentang luas dari Sabang hingga Merauke. Tidak heran memiliki keberagaman suku, adat istiadat, geografis, hingga mata pencaharian yang pasti berbeda-beda di tiap daerahnya. Seperti halnya pada salah satu pengrajin gerabah terbesar di Jawa Barat yakni di Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, memiliki penduduk yang mendedikasikan sebagian hidupnya untuk membuat gerabah. Bermula dari kebiasan yang sudah ada sejak para leluhur terdahulu mereka kemudian menjadi turun-temurun hingga menjadikannya sebagai mata pencaharian dalam menjalani kehidupan. 

Sitiwinangun adalah sebuah desa yang ada di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon.  Nama Sitiwinangun terdiri dari gabungan kata Sitti yang artinya tanah dan Winangun yang berarti bentuk. Dari penamaan ini bermula saat zaman dahulu sekitar tahun 1222, tradisi membuat gerabah sudah dilakukan oleh nenek moyang penduduk Sitiwinangun.  Pada saat itu di daerah Kebagusan sudah ada padukuhan, yang bernama Padukuhan Kebagusan dan masyarakat Kebagusan pada waktu itu sudah mengenal kerajinan gerabah. Kerajinan gerabah yang ditemukan pada masa Kerajaan Majapahit atau Singasari memiliki kesamaan dengan gerabah yang dibuat oleh warga Kebagusan. 

Dari latar belakang tersebut, menjadikan Sitiwinangun sebagai sentra gerabah tertua di Jawa Barat. Berkaitan dengan itu, membuat penduduknya sebagian bermata pencaharian sebagai pengrajin gerabah. Terutama di era tahun 1980-an, ketika Sitiwinangun berada pada masa kejayaannya sebagai penghasil gerabah terbaik, terdapat 4 dari 5 blok yang ada pada desa tersebut yang penduduknya berkecimprung di dunia penggerabahan. Banyak truk-truk pembeli yang mengantre di sepanjang jalannya untuk mengangkut gerabah-gerabah tersebut. 

Salah satu pengrajin dari tahun 80-an sampai sekarang ialah Ibu Rumtini, beliau sudah terjun dalam dunia membuat gerabah sejak sekolah dasar sampai sekarang. Beliau berpendapat bahwa memang Sitiwinangun ini sudah menjadi sentranya pembuatan gerabah tertua, "Sudah lama sejak saya SD dulu saya ikut orang-orang, lumayan buat anak SD dapat uang tambahan buat jajan," Ujar beliau. Adapun gerabah yang dibuat beliau tergantung pesanan pembeli atau dititipkan ke warung-warung dengan kisaran harga mulai Rp5.000 sampai Rp800.000. Ketika diwawancarai beliau menyampaikan bahwa, "Yang sering dibeli itu mangkok-mangkok buat makanan kaya tahu gejrot.” 

Jadi untuk sekarang ini seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa di era 80-an yang sedang jaya-jayanya berbeda dengan tahun 90-an di Sitiwinangun yang mana mengalami kemunduran diakibatkan maraknya produk dari plastik sehingga membuat peluang pasar gerabah menurun.

Di tahun 2000-an dicoba revitalisasi kembali Desa Sitiwinangun agar tetap menghasilkan gerabah, salah satunya dengan inisiatif warga sendiri yang memang bisa dibilang sebagai mata pencaharian mereka. Maka dari itu, Ibu Rumtini sendiri membuat gerabah untuk dipasarkan yang banyak digunakan untuk makanan. Selain itu digunakan sebagai alat rumah tangga sehari-hari, gerabah Desa Sitiwinangun juga digunakan untuk kepentingan religi dan keagamaan, antara lain: memolo atau mahkota yang berfungsi sebagai penutup ujung atap pada bangunan masjid sebagai tempat peribadatan. 

Gebrakan lain juga yang dilakukan di Sitiwinangun yaitu, menjadikannya desa tersebut sebagai wisata edukasi. Jika Ibu Rumtini membuat gerabah di rumah, berbeda ketika ada sekelompok orang lain dari sekolah, perguruan tinggi, dan instansi-instansi lain yang berkunjung ke tempat tersebut. Maka pengelola gerabah tersebut yang kebetulan dikelola oleh pemerintah desa lebih tepatnya BumDes, para pengrajin akan datang ke pusat utama pembuatan gerabah. Dengan kata lain, para pengrajin bergabung menjadi tour guide sekelompok orang tersebut. Hal ini tentu sejalan dengan awal mula yang menjadi cikal bakal pembuatan gerabah dijaga dan dilestarikan hingga sampai sekarang serta menjadi mata pencaharian bagi masyarakat setempat. 


Penulis: Risna Ayu Lestari

Editor: Tim Editorial LPM FatsOeN

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama