Sumber Foto: Pinterest 

Dalam labirin kompleksitas kehidupan kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tergambar sebuah potret dinamis tentang bagaimana demokrasi—sebuah ideal yang dijunjung tinggi dalam teori—seringkali menghadapi ujian berat ketika diimplementasikan dalam praktik. Kisah yang terurai dari peristiwa ini bukan hanya tentang konflik internal atau perbedaan pandangan semata, melainkan tentang bagaimana kekuatan birokrasi, kepentingan sempit, dan dinamika kekuasaan dapat mengikis fondasi demokrasi, bahkan di lingkungan yang seharusnya menjadi bastion pemikiran bebas dan keberagaman.

John Dewey, seorang pemikir besar, mengatakan, "Democracy has to be born anew every generation, and education is its midwife." Pendidikan di kampus seharusnya menjadi katalis untuk demokrasi yang sehat, tempat di mana nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan dihidupkan. Namun, apa yang terjadi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon menunjukkan bahwa praktik demokrasi kerap kali kalah oleh taktik dan strategi politik yang mengutamakan kekuasaan.

Diawali dari sebuah demonstrasi yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan bahkan bersikap menolak dan tidak mengakui keputusan Panitia Pemilihan Mahasiswa Universitas (PPMU) terkait pemilihan Senat Mahasiswa (Sema) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema), terbukanya kotak Pandora menunjukkan lebih dari sekedar ketidakharmonisan antar individu atau kelompok. Ini merupakan simbol dari pertarungan yang lebih besar: antara idealisme demokrasi dengan realitas politik kekuasaan. Intervensi oleh Warek 2, yang menurut beberapa sumber, bertujuan mendukung satu golongan ekstra kampus, menjadi titik nyala yang memperlihatkan bagaimana demokrasi bisa dibelokkan dari jalurnya oleh kepentingan-kepentingan yang lebih ingin mempertahankan status quo daripada mewujudkan keadilan dan kesetaraan.

Konflik yang terjadi, yang melibatkan Warek 2 dan dinamika organisasi mahasiswa, mencerminkan sebuah dinamika yang lebih luas dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Hannah Arendt, "The most radical revolutionary will become a conservative the day after the revolution." Ini menggambarkan ironi yang sering terjadi dalam perjuangan kekuasaan: begitu tujuan tercapai, nilai-nilai yang diperjuangkan bisa dengan mudah dilupakan.

Intervensi birokrasi dan kecenderungan untuk mendukung satu golongan tertentu mengungkapkan bagaimana kepentingan politik bisa merusak esensi demokrasi. Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga agar ruang-ruang demokratis, seperti kampus, tetap terbuka dan inklusif. Alexis de Tocqueville dalam "Democracy in America" mengingatkan, "The health of a democratic society may be measured by the quality of functions performed by private citizens." Ini menekankan pentingnya partisipasi aktif warga negara—dalam konteks ini, mahasiswa—dalam menjaga kesehatan demokrasi.

Pernyataan rasisme yang mencuat selama aksi aliansi ormawa menjadi sebuah warna yang menarik perhatian penulis. "Orang Timur dilarang menguasai wilayah Jawa" merupakan kalimat yang merobek harapan akan sebuah demokrasi kampus yang adil dan inklusif. Ironisnya, hal ini muncul dari salah satu aktor yang mengikuti demonstrasi aliansi ormawa, menunjukkan adanya ketumpulan nalar berfikir dan rasisme yang seharusnya tidak ada tempatnya dalam wadah demokrasi.

Fenomena ini menyoroti sebuah paradoks, di mana mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melawan diskriminasi dan ketidaksetaraan justru terlibat dalam aksi yang mencemari semangat demokrasi kampus. Ironi semakin memuncak ketika kita menyadari bahwa demokrasi seharusnya merangkul semua suara, tanpa memandang latar belakang etnis, dan menjadikan kampus sebagai tempat di mana keberagaman dihormati dan diperjuangkan.

Kasus intoleransi dan rasisme yang muncul di tengah konflik bukan hanya mencerminkan ketumpulan nalar dan kekurangmampuan untuk menerima perbedaan. Lebih dari itu, ini menunjukkan bagaimana ketika struktur kekuasaan di kampus memihak, hal tersebut bisa memperkuat prasangka dan memperdalam jurang pemisah antara komunitas. Ironisnya, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk membangun pemahaman dan toleransi malah menjadi arena untuk mempertajam konflik.

Pengalaman di IAIN Syekh Nurjati Cirebon memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana demokrasi harus terus dijaga dan diperjuangkan. Mengutip pemikiran dari seorang filsuf timur yang mengatakan, "Kebijaksanaan bukanlah produk dari sekolah, tapi dari perjalanan hidup yang menantang," kita diingatkan bahwa kebijaksanaan dalam mengelola demokrasi kampus bukan hanya datang dari teori, tapi dari pengalaman nyata menghadapi dan menyelesaikan konflik.

Robert D. Putnam dalam "Making Democracy Work," menunjukkan bahwa kunci dari demokrasi yang berfungsi adalah partisipasi sosial dan kepercayaan antar individu. Ini berarti, di kampus, perlu adanya komunitas akademik yang tidak hanya aktif secara politik, tapi juga saling percaya dan bekerja sama untuk tujuan yang lebih besar dari sekedar kepentingan pribadi atau kelompok.

Potret di IAIN Syekh Nurjati Cirebon menjadi sebuah contoh vivid dari tantangan dan peluang dalam membangun demokrasi yang sehat. Kita diingatkan bahwa demokrasi adalah proses yang terus menerus, memerlukan pengawasan, partisipasi, dan terutama, pendidikan yang terus-menerus. Melalui pendidikan dan praktek demokrasi yang sehat, kampus dapat menjadi model bagi masyarakat yang lebih luas dalam memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi yang sejati.

Penulis: Ahmad Rizki Alimudin

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama