Dua sampai tiga dekade yang lalu, mungkin tak terbayang bahwa hari ini, kita tak perlu lagi membaca buku. Cukup ketik satu kalimat "buatkan makalah 1000 kata". Tugas selesai, instan, lantas lanjut berselancar di sosial media.
Kini banyak mahasiswa menjalani kuliah hanya sebagai formalitas teknis. Bermodal Artificial Intelligence (AI) dan tombol copy paste, mahasiswa dapat menyelesaikan tugas, bahkan mempresentasikan tiap slide materi yang juga bisa dirancang AI. Ironisnya, pertanyaan untuk memantik sesi diskusi juga dapat disusun sedemikian rupa oleh AI.
Inilah potret perkuliahan modern yang makin jauh dari makna belajar. Mahasiswa tak lagi membaca buku, tidak berdiskusi, tak perlu merangkai ide, cukup klik salin dan tempel. Tak heran jika semakin hari, generasi bangsa semakin manja.
Di tengah ambisi besar bangsa untuk mencetak Generasi Emas 2045, kita justru melihat generasi yang nyaman jadi operator AI, bukan penggerak ide dan pemikir kritis. Padahal, menurut Albert Einstein, Nilai dari pendidikan tinggi bukanlah mempelajari banyak fakta tetapi melatih pikiran untuk berpikir.
Jika semua tugas bisa diserahkan ke mesin, maka apa makna menjadi mahasiswa? Saya rasa, ini sekedar menjalani proses pendidikan formal yang instan tanpa hambatan. Pendidikan tinggi yang harusnya membentuk karakter, logika, dan daya kritis, kini berubah menjadi pabrik sertifikasi cepat saji. Mahasiswa makin malas berpikir karena tahu: cukup ketik perintah, AI akan bekerja.
Ini bukan sekadar masalah teknologi, tapi soal arah. AI memang canggih, tapi tidak bisa menggantikan proses intelektual. Maka, sudah saatnya kampus membatasi budaya instan ini: dorong mahasiswa berpikir sendiri, nilai proses bukan hanya produk, hadirkan tugas yang berbasis pengalaman, bukan sekadar teks.
Jika budaya "operator AI" terus dibiarkan, kita mungkin akan mencetak generasi yang cepat lulus, tapi rapuh dalam berpikir. Sebagai pengingat, generasi emas tak lahir dari klik dan salin—tapi dari keringat intelektual dan gairah diskusi di pojok-pojok kampus.
Penulis: Ilyasa Ramadhan
Editor: Fadhil Muhammad RF