Kebebasan Pers di Bawah Bayang Kaki Amran Sulaeman

ilustrasi cover majalah Tempo
(Sumber: Tempo)


Polemik antara Tempo dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaeman kian memanas setelah terbitnya laporan berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” pada edisi 16 Mei 2025. Pemberitaan tersebut dianggap merugikan Amran, baik secara pribadi maupun institusi.

Judul itu sejatinya muncul bukan tanpa alasan. Kebijakan “Any Quality” dengan harga tetap Rp 6.500 per kilogram membuat sebagian petani menyiram gabah berkualitas baik agar beratnya bertambah. Akibatnya, gabah yang diserap Bulog justru mengalami kerusakan.

Kementerian Pertanian sendiri mengakui adanya penurunan mutu di gudang karena stok yang melimpah. Namun, alih-alih menyelesaikan persoalan secara bijak, Amran justru membawa kasus ini ke jalur hukum.

Sengketa ini telah ditangani Dewan Pers, yang merekomendasikan agar Tempo mengganti judul, poster dan menyampaikan permintaan maaf. Tetapi Amran tampaknya belum puas, lalu menggugat Tempo ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tuntutan sebesar Rp200 milyar.

Mengutip laporan Tempo, gugatan itu muncul setelah lima kali proses mediasi gagal mencapai kesepakatan. Dalam seluruh mediasi, Tempo selalu hadir, sementara Amran tidak pernah datang.

Di sisi lain, kuasa hukum Amran, Chandra Muliawan, menegaskan bahwa gugatan tersebut bukan untuk membungkam kebebasan pers. Menurutnya, langkah ini diambil untuk menegakkan etika jurnalistik dan menjaga martabat petani Indonesia.

Meski demikian, publik menilai gugatan ini sebagai bentuk tekanan terhadap media. Sejumlah organisasi pers menentang keras langkah Amran. Aliansi Jurnalis Independent (AJI) bahkan menyerukan aksi demonstrasi, sementara Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menyatakan sikap solidaritasnya dan meminta pemerintah untuk menghentikan segala bentuk pembungkaman terhadap Tempo.

Padahal, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 telah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pers secara jelas. Setiap keberatan terhadap pemberitaan seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers, dengan menggunakan hak jawab atau hak tolak, bukan dengan gugatan bernilai fantastis.

Menuntut ganti rugi ratusan miliar dengan alasan “penegakan etika” adalah langkah yang tidak proporsional. Media adalah pilar keempat demokrasi, dan memiliki sistem pengawasan internal yang sudah diatur oleh undang-undang.

Tindakan Amran bukan hanya persoalan pribadi antara pejabat dan media, melainkan sinyal bahaya bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Setelah melalui masa kelam di era Orde Baru, kini kebebasan pers kembali berada di persimpangan: antara kritik yang dibungkam dan kekuasaan yang ingin selalu tampak benar.

Pemerintah, khususnya Amran Sulaeman, semestinya menghormati mekanisme penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan. Gugatan bernilai ratusan miliar tidak hanya memperlemah media, tetapi juga mencederai semangat demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah. Kebebasan pers bukan ancaman bagi negara, melainkan napas bagi masyarakat yang ingin tetap berpikir kritis dan merdeka.


Penulis: Fadhil Muhammad RF

Editor: Muhamad Hijar Ardiansah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama