(Sumber Gambar: Freepik.com)

Entah insting, nafsu, atau naluri. Semua orang punya itu yang terbentuk alami di dalam diri. Ada binatang jalang yang menari liar dalam tubuh seorang lelaki. Ia memberontak gerah minta dikasih makan. Bahkan istrinya tidak cukup untuk memuaskan apa yang ia mau.

Pria itu dipandang alim, dengan peci dan sarung tanpa sempak yang ia kenakan. Agar semriwing, mungkin. Pak Kasim pula dosen yang dihormati, keilmuannya mampu membuatnya bertindak selayaknya dewa. Titahnya tidak pernah salah. Perintahnya seagung nabi. Semua orang tunduk dengan Pak Kasim, atas gelar Profesor yang melekat pada namanya. Berbanding terbalik dengan warga desa yang melabelinya profesor, mahasiswi memberikannya cap predator. Pak Kasim predator kelas terpelajar, predator bermartabat, bukan mendekati kupu-kupu malam yang nangkring di pinggiran jalan, targetnya di dunia pendidikan. Maklum, dari dulu hanya kepalanya yang disekolahkan, ia lupa punya kemaluan yang harusnya perlu diedukasi juga.

Kali ini mahasiswi berparas cantik jadi incarannya. Lastri, mahasiswi berbodi montok berkulit putih. Bibirnya merekah dipoles gincu. Kerudungnya dibelit-belit melingkari kepala. Lengkap sudah, ditambah rok span plisket dan sepatu sket. Lastri bimbingan skripsi ke Pak Kasim. Sasaran empuk baginya, si pria paruh baya gila yang tengah  puber kedua.

“Kamu ambil berkas di ruangan saya”

Pak Kasim mengerling genit, ia memicingkan matanya. Bulu kuduk Lastri merinding. Ia ingin muntah kalau bisa. Sendirian, di ruangan dosen yang sepi karena tengah pandemi, Lastri menghampiri satu meja. Pak Kasim menutup pintu. Lastri mulai gerah meski AC terus menyala.

“Misi Pak”

Lastri membuka pintu.

“Pak, bimbingannya di kelas aja. Saya gak enak lama-lama di ruangan dosen. Apalagi kalau hanya berdua”

Pak Kasim menelan ludah.

“Loh, ya malah enak toh kalau berdua”

Pak Kasim nyengir, gigi kuningnya berderet rapih. Lastri seakan melihat anjing yang menjulurkan lidah ketika diberi tulang. Pikirannya ke mana-mana, ia takut diterkam, dicabik, dimangsa. Apalagi akhir-akhir ini ia melihat banyak berita kekerasan seksual. ‘ah tidak, dia kan dosen, berilmu. Mana mungkin cabul’ Lastri menyangkal stigma negatif yang mondar-mandir di kepalanya.

“He he, di kelas aja Pak” Lastri menolak sopan.

“Oh ya, Monggo, silakan.”

***

Di ruang kelas, bersebelahan, Lastri dan Pak Kasim duduk menempel. Lagi-lagi Lastri menggeser posisi menjaga jarak, bukan karena takut Pak Kasim pengidap Covid dan wajib social distancing, Lastri geli sendiri. Lebih ke jijik. Mual seperti masuk angin. Ingin meludah di wajah tua bangka bau tanah yang mengedip kepadanya kini.

Lastri sudah wanti-wanti hal ini akan terjadi, mendengar dari beberapa temannya yang sama-sama bimbingan skripsi ke Pak Kasim. Ia mengingat kalimat-kalimat teman lain ‘Laporin aja deh mendingan,’ ‘udah ga waras tuh dosen’ ‘minta dikebiri’ ‘istriya tau gak ya, punya suami gitu’ ‘Ih, semoga dilaknat Allah, gak tau apa dalilnya bersentuhan lawan jenis’ namun mereka tidak mengerti bagaimana di posisi Lastri, pendidikan kuliah yang ia kenyam selama ini digantungkan pada berlembar skripsi. Ia harus bimbingan, atau ia harus menahan semua ludahnya biar lulus cepat.

Keringat Lastri mengucur deras, ia gemetar. Perutnya terasa penuh, seperti ada yang menonjok dari dalam dadanya. Perasaan cemas menggandrunginya, rasanya seperti kebanyakan minum kopi dan deg-degan, pusing, ingin muntah. Ia menutup mulutnya, menahan apa yang ingin keluar dari lambung.

“Kamu kenapa? Kok kayak istri Saya pas hamil muda. Kan belom Bapak apa-apain.”

“Maaf Pak, Bimbingannya nanti aja ya, Saya gak enak badan.”

“Mau, Bapak enakin?”

Dorongan kedua dari lambungnya benar-benar membuncah, Lastri gemetar dengan muka yang sudah pucat. Ia lagi-lagi ingin mengeluarkan makanan siang ini.

“Oh, yasudah sana, kamu sudah mau muntah gitu. Nanti kalau sehat Bapak tunggu, tapi jangan di kelas ya, di tempat yang ngenakin.

Sigap, Lastri menutup leptopnya tanpa memencet tombol Shut Down. Tanpa salim ke Pak Kasim tentunya. Ia lari ke WC yang terletak di ujung koridor, benar saja, nasi dengan bayam dan paha ayam, makanan siang ini ia muntahkan. Sebuah pesan singkat tertera di gawainya.

“Kamu di mana?”

Lastri jongkok di WC dan membalas pesan dari temannya, Mirna.

“WC”

Gawainya berbunyi lagi.

“Bimbingan gimana?”

“Ga jadi”

“Oh, Syukur. Laporin aja sih, dosen begitu”

Lastri mengusap pelipisnya yang berkeringat.

“Mana bisa. Skripsi aku jadi taruhan”

“Biar lembaga yang tindak lanjuti. Siapa tau tuh dosen dipecatlah, atau apalah.”

“Emang bisa?”

 “Coba aja dulu”

“Emang mau, lembaga ngejelek-jelekin namanya sendiri? Punya dosen genit yang suka catcalling mahasiswinya. Yang ada, kasus itu bakal ditutup-tutupi”

“Coba aja dulu”

Kalimat itu seperti disalin-tempel. Lastri makin geram. Masih jelas di ingatannya bagaimana kakak tingkatnya melapor ke kampus, kampus seakan bertindak namun nyatanya kasus tersebut mangkrak tidak tuntas. Lastri tidak mau begitu, simalakama. Ia bingung harus gimana, masih diam di sana, di atas WC memegangi gawainya.

Penulis: Zulva

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama